Pulau Panggang - Rebana
merupakan seni tradisi yang bernafaskan Islam. Dengan didukung oleh
alat berbentuk kendang kecil berjumlah tiga buah, rebana merupakan
kesenian Islami yang sangat menarik untuk dilihat. Menurut Mustafa,
salah satu penyebar rebana di Pulau Panggang, seni rebana di Pulau
Panggang kini hanya tinggal kenangan. Ketika ditemui di rumahnya, ia
bertutur banyak hal, mulai dari sejarah hingga ke cara memainkan alat
rebana.
Sejarah rebana di Pulau Panggang mulai ada pada sekitar tahun
1960-an. Pada pertengahan tahun 1950-an, terdapat satu keluarga yang
datang dari Jakarta, lalu menyebarkan seni rebana tersebut. Penyebar
dan pembina Rebana, yang kemudian dikenal dengan nama Mustafa itulah
yang dianggap sebagai sosok yang pertama kali mengajarkan seni rebana
bagi sebagian masyarakat Pulau Panggang.
“ Waktu itu, saya dan orangtua memang suka memainkan rebana. Lalu
pak kepala desa pada saat itu meminta saya untuk mengajarkan rebana
kepada remaja-remaja di sini. Karena saya sendiri masih bujang, jadi
saya mau. Dan masyarakat juga sangat mendukung kegiatan ini. Saya saja
suka dibantu beras, jadi tidak dibayar. Saya sendiri sih ikhlas karena
waktu itu kan saya memang hobi mengajarkan rebana ini.”
Untuk mendapatkan suatu sajian musik rebana yang menarik, maka
rebana harus dimainkan oleh 3 orang yang harus menguasai masing-masing
alat (kendang) dengan cukup baik. Tiga buah rebana tidak memiliki
satu komposisi musikal yang sama sehingga cara memukul dan
menggaungkan iramanya sendiri berbeda-beda. Ketiga buah rebana
tersebut diberinama kendang empat, kendang lima, dan kendang enam.
Istilah tersebut juga untuk membedakan jenis pukulan dan irama musikal
yang harus dikuasai oleh pemainnya.
Di samping itu, jenis pukulan yang harus dikuasai oleh pemain rebana
terdiri dari sedikitnya 12 pukulan, yaitu: sorong, syiir, gambus,
ketoprak, selamba, selamba empat, selamba melayu, selamba sambung,
sambung, sorong sambung, sambung ragap, dan asyrakal. Ketika
masing-masing jenis pukulan diterapkan pada masing-masing kendang, maka
ia akan memunculkan irama musikal yang berbeda-beda karena
masing-masing kendang memiliki suatu aturan musikal tersendiri.
Masing-masing jenis pukulan masih memiliki variasi yang bermacam-macam
sehingga untuk menguasai permainan rebana membutuhkan waktu yang
relatif lama.
Tanda lagu atau not yang dimiliki oleh rebana sangat berbeda dengan
model tanda lagu yang dimiliki oleh jenis musik modern. Not balok yang
ada tidak terdiri dari susunan angka, melainkan hanya berbentuk
silang dan bulat ditambah dengan tanda garis bawah untuk menandai
apakah pukulan yang dimainkan harus cepat atau tidak. Berikut contoh
tanda lagu yang ada pada rebana.
Kendang Empat
Ο Ο X X X O
X O X O
X.O O O
X O X O
X.X X O
Kendang Lima
O O X X X X O
X O X O
X.O O O
X O X O
X O O O
Kendang Enam
O O.X X X X O
X X O X O
X O O O
X X X X O
Tanda bulat (O) menunjukkan suatu jenis pukulan yang harus memunculkan suara gaung (dung), sedangkan tanda silang (X) menunjukkan adanya suara tepak mati (pak).
Menurut Mustafa, untuk menguasai satu jenis pukulan saja membutuhkan
waktu sekitar satu bulan, sehingga untuk menguasai beragam pukulan
dipastikan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Satu hal yang dinilai
cukup sulit adalah bahwa memelajari jenis pukulan rebana paling tidak
harus ditemani oleh dua orang yang telah menguasai jenis pukulan
untuk mengiringi pukulan bagi yang sedang belajar.
Hingga tahun 1970-an, terdapat beberapa orang yang menguasai rebana
dengan cukup baik. Mustafa sendiri cukup rajin untuk melatih anak-anak
muda semasanya untuk belajar rebana secara terus-menerus. Pada waktu
itu pula rebana sering dimainkan pada acara-cara ritual di masyarakat,
seperti acara maulud[1] di hajatan masyarakat.
“ Waktu masih rame-ramenya dulu, di setiap acara maulud kita diundang
dan diminta untuk memainkan rebana hingga larut malam. Jika di acara maulud, kita bisa memainkan seluruh jenis pukulan. Kecuali pada waktu ngarak
pengantin atau menyambut tamu dari pemerintah, paling cuma memainkan
tiga pukulan, yaitu syiir ragap, selamba ragap, dan sambung ragap.
Dulu, setiap kita bermain rebana yang hadir dan menonton pasti banyak
karena rebana ini sangat indah sekali didengar. Lagu-lagu yang
dibawakan juga diambilkan dari kitab barzanji yang sudah akrab di
sini.”
Tetapi pada akhir 1980-an, rebana mulai ditinggalkan. Hanya sesekali ia dipakai pada hajatan tertentu, khususnya pada waktu ngarak
pengantin. Dan kini, rebana sudah benar-benar menjadi kenangan dan
telah tergantikan oleh jenis kesenian baru yang lebih diterima oleh
generasi masa kini. Mustafa sendiri menjelaskan bahwa “hilangnya” rebana
di masa kini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : pertama,
tidak terdapatnya lagi minat generasi muda untuk memelajari rebana
yang dinilai cukup sulit dan membutuhkan waktu serta kesabaran yang
cukup. Generasi muda masa kini lebih memilih jenis kesenian modern yang
sepertinya memberikan image tentang musik yang memberikan makna lebih
prestisius.
Kedua,Mustafa
sendiri sebagai guru di bidang ini mulai sibuk dengan pekerjaan
sehari-hari sebagai nelayan yang harus kelaut untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga. Ia mengaku bahwa dirinya tidak lagi memiliki waktu
yang cukup luang untuk mengajarkan permainan rebana kepada masyarakat
sekitar.
Ketiga,
tidak terdapat suatu dukungan dari berbagai pihak untuk
“melestarikan” jenis kesenian tradisi Islam yang satu ini. Mustafa
masih ingat ketika ia begitu gencar-gencarnya dalam memainkan dan
mengajarkan rebana kepada generasi muda di sini. Selain lurah, hampir
seluruh penduduk bersedia memberikan bantuan berupa beras atau yang
lain sebagai tanda terima kasih sekaligus dukungan pemenuhan
ekonominya. Tetapi, hal tersebut tidak ada lagi di masa kini. Dengan
tidak adanya dukungan dari masyarakat, maka sangat sulit bagi Mustafa
untuk meluangkan waktu mengajarkan rebana, karena pada saat yang sama
ia sebagai kepala keluarga dituntut pergi kelaut untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga. Pemerintah daerah sendiri juga tidak
memberikan perhatian yang serius bagi keberlangsungan seni tradisi
yang satu ini sehingga maklum jika kemudian keberlangsungannya hanya
tinggal imajinasi yang melekat pada segelintir orang seperti Mustafa.
Dalam ungkapan lain, demi hidup, tradisi harus mati.
b. Q a s i d a h
Seni tradisi yang satu ini juga bisa disebut sebagai seni tradisi
islam. Hampir mirip dengan rebana, seni tradisi yang satu ini
menggunakan kendang dan juga membawakan lagu-lagu yang bernafaskan
Islam. Meskipun kini juga kerap terlihat lagu-lagu yang berbahasa
Indonesia, tetapi ia tetap kental dengan nuansa Islamnya.
Di Pulau Panggang sendiri, asal mula perkembangan qasidah dimulai
pada akhir tahun 1960-an. Selain Mustafa yang ikut serta mengembangkan
qasidah, terdapat pelatih lain yang juga giat mengembangkan seni
tradisi yang satu ini, yaitu orang yang bernama Yusuf. Bersama dengan
Mustafa, Yusuf yang sebelumnya telah belajar qasidah dari darat
(Jakarta) membagi kemampuannya dalam memukul kendang kepada generasi
perempuan dan laki-laki Pulau Panggang. Maman, ketua grup qasidah
Nurhasanah Pulau Panggang mengatakan bahwa ia sendiri belajar qasidah
dari Yusuf. Ia mengenang bahwa pada waktu itu, terdapat dua kelompok
generasi qasidah yang masing-masing terdiri dari grup laki-laki
bernama al-Amin dan grup perempuan bernama an-Ni’mah.
Dari segi alat yang dipergunakan, qasidah lebih bervariasi dibanding
rebana. Peralatan qasidah terdiri dari kendang kecil dan kendang besar
hingga berjumlah belasan. Hal tersebut terhantung pada jumlah
personil yang tergabung pada grup qasidah itu sendiri. Artinya,
peralatan qasidah tidak seketat rebana yang hanya terdiri dari tiga
kendang kecil dengan jenis pukulan yang khusus pula. Cara memainkan
kendang qasidah dinilai lebih mudah dibanding rebana.
Pada masa “kejayaan” qasidah, seni tradisi ini juga kerap ditanggap
oleh masyarakat pada acara-acara hajatan masyarakat atau ketika
menyambut tamu penting. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan
rangkaian perubahan yang terjadi di Pulau Panggang, grup qasidah
An-ni’mah dan al-Amin mulai pudar. Baru pada awal tahun 2000-an,
qasidah mulai dimunculkan kembali. Salah satu grup yang paling tua
saat ini, yaitu Grup qasidah Nurhasanah merupakan salah satu grup yang
paling eksis, meskipun personilnya bukanlah sosok-sosok yang muda
lagi karena sebagian di antaranya merupakan orang perorang yang dulu
pernah bermain di grup An-ni’mah. Meskipun terdapat beberapa grup
qasidah lain yang lebih muda, tampaknya belum sepopular grup qasidah
Nurhasanah pimpinan Maman ini.
“Sebenarnya saya sendiri suka diminta oleh ibu-ibu di bagian barat
untuk melatih mereka. Tapi ibu-ibu dari Nurhasanah binaan saya
terkadang kurang menyetujui, takutnya saya tidak lagi fokus ke mereka.
Saya juga sempat diminta oleh kepala Sekolah SMP di Pulau Pramuka
untuk melatih anak-anak, tetapi ia bilang bahwa tidak ada anggaran
untuk itu. Terus-terang saya keberatan karena bukankah guru-guru yang
lain aja dibayar, masak saya tidak? Bukankah dalam hal ini kita juga
sama-sama guru? Sebenarnya saya sendiri tidak terlalu berharap ada
bayaran yang banyak, cukup untuk transportasi dan uang rokok, tapi
karena tidak ada kepastian ya saya sendiri jadi keberatan,” ujar
Maman.
Saat ini, qasidah menjadi seni tradisi yang lebih eksis dibanding
seni tradisi yang pernah ada di pulau ini. Pada waktu perlombaan
qasidah di tingkat kabupaten misalnya, terdapat belasan grup yang
berkompetisi untuk memperebutkan gelar juara. Pada berbagai acara
hajatan di masyarakat pun masih kerap ditanggap, misalnya untuk
mengiringi arak-arakan pengantin keliling pulau. Lagu-lagu
yang dibawakan tidak melulu syair-syair arab sebagaimana rebana,
tetapi banyak juga lagu-lagu kontemporer seperti pengantin baru, perdamaian, jilbab putih yang sempat dipopularkan oleh grup Nasida Ria
asal Semarang Jawa Tengah. Sayangnya, pembinaan terhadap seni tradisi
Islam yang satu ini masih mengalami banyak kelemahan. Di antaranya,
sulit untuk melakukan latihan rutin secara konsisten. Personil qasidah
yang terdiri dari perempuan dinilai menjadi faktor ketidakkonsistenan
tersebut. Para personilnya kerap disibukkan oleh pekerjaan rumah
tangga, pengajian, arisan, dan sebagainya sehingga turut menjadi
kendala untuk menggelar latihan secara rutin.
Di samping itu, pengembangan peralatan juga masih sangat minimal.
Maman mengatakan bahwa selama ini untuk memperoleh peralatan seperti
kendang saja harus menyisihkan dari uang bayaran yang mereka peroleh
dari tanggapan di acara hajatan masyarakat. Grup qasidah Nurhasanah
sendiri misalnya, sudah pernah mengajukan permohonan ke pemerintah
daerah untuk bantuan peralatan, tetapi tidak pernah direspon. Maka
wajar pula jika grup sendirilah yang harus pandai-pandai menyiasati
bagaimana mengupayakan adanya peralatan sendiri, mulai dari kendang
hingga pakaian.
Berbeda dengan rebana yang kesulitan untuk melakukan regenerasi,
qasidah relatif lebih hidup dan masih memunculkan minat dari generasi
masa kini. Keberadaan beberapa grup qasidah yang menyebar dari pulau ke
pulau merupakan wujud dari tetap kuatnya minat itu. Kini, qasidah
yang hidup menghampar di tengah-tengah tantangan modernitas itu tengah
berupaya untuk menciptakan formulasi bertahan hidup. Harapan agar ia
diperhatikan oleh pihak penguasa merupakan bagian dari upaya untuk
mempertahankan hidup itu. Gempuran musik modern seperti pop, dangdut,
dan perubahan sosial yang ditandai oleh keberadaan media informasi dan
media hiburan yang lain akan memunculkan pertanyaan; apakah qasidah
akan bernasib seperti rebana ataukah ia akan tetap bisa dinikmati oleh
generasi mendatang sangat tergantung pada keinginan berbagai pihak
untuk menjadikan qasidah sebagai ruang artikulasi masyarakat atau
sebaliknya, ia hanyalah kesenian dimana tanggungjawabnya diserahkan
kepada para pemainnya yang lambat-laun pasti lenyap ditelan usia.
c. L e n o n g
Menyebut jenis seni tradisi yang satu ini maka ia menjadi sangat
akrab dengan Betawi. Tampaknya pula lenong yang pernah hidup di Pulau
Panggang dan juga pulau yang lain tidak lepas dari wilayah darat.
Baharuddin, atau yang lebih dikenal di Pulau Pramuka sebagai Wak Ndut
mengatakan bahwa lenong yang pernah ada di pulau tahun 1960-an hingga
1990-an memang diawali oleh pembelajaran yang berasal dari darat
(Jakarta), tetapi ketika sudah berada di pulau ia mengalami
improvisasi dari para pemainnya.
Dari segi penampilannya, lenong merupakan jenis seni tradisi panggung
yang dimainkan (diperankan) oleh beberapa orang menurut cerita-cerita
tertentu. Ia seperti drama panggung atau juga tampak seperti teater
yang mengisahkan tentang peristiwa keseharian atau juga
dongeng-dongeng tentang tokoh-tokoh tertentu. Salah satu lenong di
Pulau Panggang yang sempat popular adalah grup lenong Cinta Damai.
Grup ini terdiri dari dua puluh lima personil dengan beberapa di
antaranya sebagai pemain alat musik gong, gambang, kromong, gihan,
genjring, dan ada juga yang berperan sebagai pelantun lagu-lagu.
Dari sekian alat musik tersebut, gambang, kromong, dan gihan dianggap
paling sulit. Bahkan untuk belajar ketiganya, beberapa pemain ahli
dari Jakarta sempat dihadirkan secara khusus untuk melatih permainan
alat musik tersebut. Sedangkan lagu-lagu dan juga pantun yang
dilantunkan sangat identik dengan lagu-lagu atau pantun bercorak
Betawi.
Wak Dakir, salah seorang mantan pemain lenong yang selalu memainkan
peran sebagai perempuan mengatakan bahwa lenong Pulau Panggang
tinggallah kenangan. Ia masih mengenang masa-masa indah ketika lenong
Pulau Panggang pernah diundang di berbagai acara hingga ke Tangerang
dan beberapa pulau yang lain dengan menampilkan cerita-cerita yang
membuat penonton merasa larut dalam cerita yang diperankan.
“ Cerita yang biasa diperankan biasanya tentang Ibu tiri, ada juga
tentang tokoh-tokoh jagoan, tapi ada juga yang tergantung pada
permintaan tuan rumah. Sebelum tampil, kita harus latihan terlebih
dahulu. Pada waktu latihan itu, kita semua harus serius seolah-olah
cerita itu benar-benar kita yang melakukan. Kalau ceritanya tentang
jagoan, kita biasa pukul-memukul dengan sebenarnya sehingga setelah
latihan badan jadi sakit semua. Dan ketika sudah tampil, seolah-olah
kita semua ini seperi beneran. Bahkan, di antara kita yang suka
berperan jadi penjahat, kerap dibenci oleh masyarakat. Padahal itu
semua hanya peran di atas panggung. Itulah lenong. Ia bisa membawa
emosi masyarakat yang menonton. Sama juga kalau ceritanya tentang ibu
tiri, tidak sedikit penonton yang menangis dan membenci pemeran ibu
tirinya,” ujar Dakir.
Memasuki tahun 1990-an, lenong mulai ditinggalkan. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa lenong menguap. Di antaranya, pertama,
para pemain lenong yang sudah menginjak usia tua memilih untuk
beristirahat dan fokus pada penguatan ekonomi rumah tangga. Celakanya,
parkirnya para generasi tua pemain lenong tidak melahirkan generasi
penerus lenong yang mumpuni. Kedua, masuknya jenis seni modern
yang menghinggapi generasi muda dianggap lebih memiliki daya tarik
dibanding lenong. Menurut Wak Ndut, anak muda masa kini sepertinya malu
dan gengsi untuk belajar lenong karena seni tradisi yang satu ini
dianggap sebagai seni kampungan yang tidak bergengsi.
Di samping dua faktor tersebut, terdapat hal lain yang menarik untuk
dicermati. Lenong Pulau Panggang sebagai seni tradisi yang hidup di
tengah-tengah kehidupan masyarakat muslim tradisional ternyata tidak
hidup dengan tenang. Tahun 1990-an ditengarai sebagai masa dimana mulai
banyak orang-orang yang semula belajar ilmu agama di darat mulai
pulang dengan membawa pengetahuan baru ke pulau. Pengetahuan baru yang
meletakkan Islam beroposisi terhadap seni tradisi telah melahirkan
suara-suara yang tidak sepihak dengan seni tradisi yang ada. Nawawi,
salah satu mantan pemain lenong sendiri kerap mendapat teguran ketika
dirinya yang sudah tidak muda lagi tetapi masih getol meminati lenong.
Ia dianggap tidak patut lagi bermain lenong karena usia yang beranjak
senja seharusnya menuntunnya untuk lebih mendekatkan diri ke Yang Maha
Kuasa ketimbang menggandrungi lenong.
Nawawi yang sepertinya tidak ingin berdebat dan mencari masalah
dengan beberapa tokoh agama itu akhirnya lebih memilih untuk mundur
dari kancah lenong, meskipun didalam dasar hatinya tetap terpaut
dengan lenong.
“Gimana ya, saya ini seniman. Saya juga orang yang beragama. Saya
cukup tau lah mana yang bilah dan mana yang tidak. Lagian lenong ini
kan bukan kesenian yang mengumbar aurat, tidak seperti dangdut atau
orkes. Lalu, apanya yang harus dilarang dari lenong ini? Sampai
sekarang, kalau saya mendengar lagu-lagu lenong, saya terasa melayang
dan semua persoalan hidup saya ini seolah-olah selesai. Itulah jiwa
seni saya. Tapi karena saya juga tidak mau ribut dengan orang lain, ya
sudahlah, saya mundur saja. Kalaupun nanti saya harus terjun lagi ke
dunia lenong, saya lebih memilih untuk menjadi sutradara saja,”
ujarnya.
Hal lain yang tidak kalah menarik, menurut pengalaman pribadinya
Nawawi, penyebab generasi tua mangkir dari kancah lenong seperti
dirinya diperantarai oleh keengganan diri untuk berkonfilk dengan
istri dalam kehidupan rumah tangga. Ia mengaku bahwa ketika dirinya
memerankan tokoh tertentu di pertunjukan lenong dan harus berlawanan
dengan seorang perempuan yang berperan menjadi istrinya, maka setiap
perilaku dan gerakan yang memperlihatkan keakraban sebagai suami
istri, meskipun hanya sebatas peran di atas panggung- bisa menyeret
dan atau menimbulkan persoalan dalam keseharian rumah tangganya.
Adanya berbagai faktor yang memengaruhi lenyapnya seni tradisi
pertunjukan lenong itulah yang bisa dilihat dan sekaligus menjadi
penjelas mengapa lenong tidak lagi menjadi suatu ruang ekspresi
berkesenian masyarakat. Kini, lenong mengalami nasib seperti rebana. Ia
mewujud dalam kenangan generasi tua tentang masa lalu. Bahkan,
peralatannya pun tinggal benda-benda mati yang tidak tersentuh, hanya
sesekali keluar sarang untuk sekedar mengingat-ingat kejayaan masa lalu
yang telah pudar.
d. M a r a w i s
Seni tradisi islam yang satu ini merupakan fenomena kesenian yang
relatif baru di Pulau Panggang. Meskipun sebelumnya pernah ada kesenian
seperti Marawis di Pulau Panggang , tetapi ketika dicermati ternyata
kesenian yang sudah ada itu lebih identik dengan hadrah, yaitu suatu seni tradisi mirip rebana tetapi dibawakan dengan memainkan kendang serta diiringi pula oleh tarian. Hadrah sendiri tidak memiliki sejarah yang memadai di Pulau ini karena tidak dikembangkan dengan baik.
Heri, seorang pengajar marawis di pulau ini mengatakan bahwa ketika
dirinya tiba di pulau ini lima tahun yang lalu dari darat, ia diminta
oleh beberapa orang di Pulau Panggang untuk mengajarkan marawis pada
anak-anak yang seusia SD atau SMP. Karena pada dasarnya ia sangat
menyukai jenis kesenian yang satu ini, maka ia tidak keberatan sama
sekali.
Demikian halnya yang terjadi di sekolah SMA 69 Pulau Pramuka tempat
ia mengajar. Ia juga mengajarkan marawis dengan intensif. watak yang
dimiliki oleh murid tersebut. Jurus dan ilmu kanuragan yang dimiliki
oleh Nek Deli itu ada yang berunsur lembut, keras, berbentuk seni,
tenaga dalam, dan banyak lagi. Masing-masing murid akan dilihat dulu
oleh Nek Deli Mulai dari cara memainkan kendang, cara menari, hingga
melantunkan lagu-lagu bernafaskan Islam. Hingga saat ini, marawis
termasuk seni tradisi bernuansa Islam yang masih baru dan terus
diupayakan untuk dikembangkan.
“Marawis ini masih dalam tahap rintisan. Saya sendiri bersemangat
untuk melatih anak-anak karena mereka juga menyukai seni ini. Saya
sudah merasa bersyukur karena anak-anak binaan saya sudah bisa tampil
di depan umum untuk membawakan marawis. Seperti ketika mereka tampil
di acara peringatan hari besar Islam, ternyata sambutannya cukup baik.
Kini beberapa orang dari pulau yang lain juga meminta saya untuk
melatih. Tapi saya belum memiliki waktu yang banyak untuk bisa
kesana-kemari mengajarkan marawis. Mungkin kalau anak-anak yang saya
bina di sini sudah jadi, saya bisa saja untuk mengajarkan marawis di
pulau yang lain,” ujar Heri.
e. Pencak Silat
Salah satu yang dikenal banyak orang terkait Pulau Panggang adalah
pencak silatnya. Berbagai cerita tentang masa lalu yang penuh oleh
tokoh-tokoh lokal seperti Nek Sadeli, Nek Aing, Habib Ali, Darah Putih
sangat identik dengan cerita tentang ketokohan individu baik dalam
penguasaan ilmu agama maupun ilmu beladiri pencak silat. Tampaknya,
pencak silat Pulau Panggang merupakan jenis seni ketangkasan yang tidak
pernah pudar hingga saat ini, meskipun harus diakui pula bahwa ia
mengalami penurunan kuantitas penerusnya.
Menurut informasi dari beberapa orang, pencak silat Pulau Panggang
sangatlah unik karena unsur-unsur gerak dan jurus-jurus yang ada
merupakan serapan dari berbagai aliran dan jenis jurus silat yang ada
di seluruh pulau Jawa. Hal tersebut disebabkan oleh kesukaan para
pendahulu dan tokoh Pulau panggang yang kerap pergi keliling pulau Jawa
untuk menimba ilmu beladiri dari berbagai perguruan dan pesantren
yang tersebar di Pulau Jawa.
Pak Ilin, salah satu guru pencak silat untuk generasi masa kini
mengatakan bahwa pencak silat di Pulau Panggang pertama kali
dikembangkan oleh Nek Sadeli atau yang biasa disebut dengan Nek Deli.
Tokoh legendaris yang diperkirakan hidup pada abad 18-an itulah yang
diyakini oleh penduduk pulau panggang masa kini sebagai tokoh yang
mengajarkan pencak silat secara turun-temurun.
“Saya sendiri tidak belajar secara langsung kepada Nek Deli, tetapi
melalui murid-muridnya. Menurut cerita, murid Nek Deli itu sangat
banyak, tetapi anehnya murid-murid beliau yang banyak itu diajarkan
jenis-jenis jurus yang berbeda-beda pula, tergantung pada kira-kira
lebih cocok untuk belajar jenis jurus macam apa. Jika orangnya dinilai
tepat untuk memelajari jenis jurus yang keras, maka jurus itulah yang
diajarkan. Jadi, bisa dibayangkan betapa luasnya ilmu yang dimiliki
oleh Nek Deli,” ujar pak Ilin.
Pak Ilin sendiri memelajari jenis jurus gerak kehadiran, suatu varian
jurus yang terdiri dari 12 jurus dan diakhiri oleh jurus sikat
duabelas. Ia disebut dengan kehadiran karena untuk memelajari jurus
ini harus menghadirkan kekuatan gaib yang membantu menggerakkan tubuh
sang murid agar lebih mudah memelajari berbagai langkah jurus dengan
baik. Di samping mengajarkan gerak jurus fisik yang terdiri dari 12
jurus itu, Pak Ilin juga melambarinya dengan berbagai amalan khusus,
seperti puasa dan bacaan-bacaan tertentu.
“ Sebenarnya jurus yang dimiliki oleh Nek Deli itu bernama Jurus Alif, artinya adalah tauhid. Berbagai
jenis jurus yang dikuasai oleh Nek Deli itu hanyalah cabang-cabangnya
saja, tetapi semuanya itu menuju pada hakikat yang satu yaitu Allah
swt. Oleh sebab itulah, belajar ilmu beladiri berarti belajar pula
tentang tauhid. Jika bisa diibaratkan, maka jurus Alif itu
menunjukkan hakikat Allah, sedangkan variasi jurusnya adalah
asmaul-husna, atau cabang-cabang dari hakikat itu sendiri. Begitulah
kira-kira jurus yang dimiliki dan diajarkan oleh Nek Deli. Bayangkan
saja, jika seseorang sudah sampai menguasai jrus alif dengan benar,
siapa sih di antara sekian manusia yang bisa mengalahkan? Dulu ada
cerita kalau Nek Deli itu sering ditantang oleh para pendekar dari
berbagai tempat, tapi tidak ada satupun yang bisa mengalahkan Nek Deli,
maka pencak silat Pulau Panggang ini sangat terkenal dan dihormati
oleh banyak orang di berbagai tempat,” cerita pak Ilin.
Selain pencak silat Nek Deli, di Pulau Panggang juga dikenal dengan
pencak silat aliran Nek Aing. Jika Nek Deli diyakini sebagian orang
berasal dari Mandar, ada juga yang mengatakan ia berasal dari Banten,
maka Nek Aing (yang aslinya bernama Mursalin) adalah tokoh yang berasal
dari daerah Cemplang, Bogor. Nek Aing sendiri merupakan pengajar ilmu
agama Islam dan juga ilmu beladiri yang meninggal pada tahun 1970-an.
Generasi tua yang ada di Pulau Panggang ini masih banyak yang sempat
bertemu muka dengan Nek Aing.
Meskipun secara gerak fisik jurus Nek Aing berbeda dengan Nek Deli,
tetapi hakikat yang diajarkan sama, yaitu menuju kepada pemahaman akan
ketauhidan. Jika jurus Nek Deli mencapai 12 jurus, maka jurus Nek Aing
hanya berjumlah 9. Tetapi, perbedaan jumlah jurus keduanya tidak bisa
dijadikan ukuran mana yang lebih baik. Bagi sebagian orang Pulau
Panggang, semuanya tergantung pada masing-masing murid yang belajar.
Baik yang belajar pencak silat dari aliran Nek Deli maupun Nek Aing
semuanya harus mengedepankan sikap rendah hati dan ketauhidan itu.
Pak Ilin mengatakan bahwa Nek Deli dulu sempat berucap bahwa siapapun
yang memiliki jurus dan menyerang terlebih dahulu, maka ia pasti
kalah. Pernyataan ini, menurut pak Ilin adalah anjuran agar tidak
menggunakan kepandaian beladiri untuk digunakan secara
sewenang-wenang. Ilmu beladiri hanya perlu digunakan pada
situasi-siatuasi tertentu, terutama ketika harus mempertahankan diri
karena diserang oleh pihak lain.
Kini, pencak silat pulau Panggang mulai kehilangan penerus. Hanya
sedikit dari generasi muda masa kini yang mau belajar pencak silat.
Tidak seperti dulu dimana hampir semua penduduk pulau panggang,
khususnya yang laki-laki belajar pencak silat. Sudut pandang generasi
masa kini mulai berubah, di samping konteks jaman juga terus bergerak
menuju perubahan. Kini, generasi muda lebih tertarik untuk mendalami
ilmu pengetahuan dengan belajar dan sekolah hingga keluar pulau.
Perubahan lingkungan sosial sangat memengaruhi keberlanjutan pencak
silat Pulau Panggang. Hingga saat ini tidak ada yang berani bertaruh
apakah keberadaan pencak silat Pulau Panggang akan tetap bertahan untuk
beberapa tahun ke depan.
Silat kebanyakan jurusnya berasal dari Mandar, kemudian dicampur
dengan siat Banten dan Betawi. Untuk penggunaan senjata tetap sama,
trisula, golok, dan toya yang lebih banyak digunakan. Dalam silat P.
Panggang jurus yang digunakan lebih banyak jurus untuk melumpuhkan
lawan, bukan jurus untuk bertahan. dengan tiga jurus diharapkan lawan
langsung ‘lumpuh’. Jika lawan setelah digebrak tidak lumpuh maka
pertahanan yang dianjurkanpun tak lebih menahan tiga jurus lawan,
setelah itu kembali melawan. Oleh karena itu silat P. Panggang harus
disertifikasi terlebih dahulu untuk menjadi salah satu cabang dari
persilatan.
Menurut Habib Zen permasalahan silat ini bukan pada hal-hal yang
sifatnya fisik, namun sesuai dengan akar katanya, silat berasal dari
silaturahmi, dengan tujuan memperkuat persaudaraan, menyebarkan Islam,
dan membentuk karakter dan budi pekerti. Silat sebagai sebuah
pertunjukkan (bukan ilmu bela diri) sedikit sekali digunakan di pulau
Panggang. Menurut Habib Zen ini disebabkan karena sejarah pulau
Panggang yang penuh dengan perjuangan. Diawali dengan berbagai
legenda, seperti legenda Darah Putih, Kapitan Saudin, dan Mohammad
Sadli bin Kohar yang melegenda sebagai pendekar yang mengajarkan ilmu
bela diri dan mempertahankan pulau Panggang dari serbuan bajak laut.
Dalam perjalanannya hanya Mohammad Sadlilah yang paling lengkap
ceritanya dan paling disebut-sebut sebagai orang yang mengajarkan silat
ke seluruh P. Panggang. Dalam kisahnya Mohammad Sadli pada usia 19
tahun pergi mengembara meninggalkan P. Panggang, beberapa puluh tahun
kemudian kembali dan mengajarkan silat.
Tokoh lainnya adalah Budin dan Miang yang tercatat menjadi guru silat
di P. Panggang. Sedangkan nama-nama lainnya tidak diingat oleh
masyarakat. Menurut Habib Zen, diperkirakan pencak silat ini
diperkenalkan tahun 1911 dengan beranggotakan ± 20 orang, kemudian
berkembang dan mencapai ratusan orang. Pencak silat pada masa ini
bertujuan sebagai [1] olah tubuh dan pikiran, [2] seni beladiri, [3]
mempererat tali silaturahmi, [4] menumbuhkan rasa percaya diri, [5]
sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan.
Sekarang pencak silat di dipersatukan menjadi Ikatan Pencak Silat
Pulau Panggang (IPSPP), yang bercirikan jurus ‘anak pukul’ (dikenal
dengan istilah ‘gerak’-sekali pukul tidak pulang kembali dan harus
tepat sasaran). Jurus ini tidaklah diperuntukkan sebagai ‘seni untuk
seni’ (seni pertunjukkan) namun lebih pada kemampuan mempertahankan
diri (bela diri), sedangkan untuk seni pertunjukkan orang pulau
Panggang lebih mengenal istilah ‘fragmen’ yang digunakan untuk
menampilkan keindahan.
Dalam teknik-belajar mengajar silat dikenal juga istilah ‘kehadiran’
dimana sang murid dibuka ‘auranya’ untuk dimasuki oleh ‘ilmu’ sang
guru. Menurut Habib hal ini menjadi ‘hapalan’ sehingga mereka dapat
bergerak sendiri . Dan seiring dengan meningkatnya kualitas keimanan
(dilihat dari ritual ibadah yang dijalankan, termasuk didalamnya ritual
untuk sosial atau kesalehan sosial, seperti baik kepada tetangga,
sering bersilaturahmi, rendah hati ke orang lain, dan sebagainya).
Dengan hapalan yang mampu membuat ‘gerak’ ini maka silat pulau Panggang
menurutnya memiliki keunikan, karena setiap orang akan menemukan
sendiri ciri khasnya, misalnya ada yang mampu bersalto tinggi, merayap
di dinding, dan lain-lain.
Sumber : Tulisan Bpk Sudiman,S.Pi,M.Si (Kasubag Kelautan)
[1] Acara maulud disini adalah suatu acara hajatan masyarakat seperti nikah, khitanan, atau akikah dimana didalamnya membacakan kitab barzanji. Maulud disini bukanlah acara peringatan kelahiran Nabi SAW yang biasanya dilaksanakan pada bulan maulud menurut kalender Islam.
Sumber / Link : Pulau Seribu Jakarta