Mereka bekerja di sektor pariwisata dengan macam-macam pekerjaan. Sebagian nelayan menjadi pemandu snorkling, membuka rumahnya menjadi home stay atau penginapan, hingga menyewakan perahunya untuk wisata antar pulau.
Peralihan pekerjaan nelayan menjadi pekerja di sektor pariwisata ini dianggap Ismail akan menambah kemampuan dan fasilitas dari sekadar pulau hunian menjadi pulau hunian wisata. "Supaya bisa bersaing dengan wisata di pulau resor,"katanya.
Salah
seorang nelayan yang beralih pekerjaan adalah Sahabudin, 38. Sahabudin
menjadi pemandu snorkeling setelah berhenti menjadi nelayan. Selain
Sahabudin, ada Marudin Boko, 44, kawan dekat Sahabudin. Bapak tiga anak
ini juga menjadi pemandu wisata dan pemandu snorkeling sejak 2001.
Orang-orang seperti Marudin dan Sahabudin bekerja sama dengan sejumlah penginapan yang memang menyediakan fasilitas snorkeling. Di luar jasa pemandu, umumnya sewa alat snorkeling dipatok Rp 40 - Rp 50 ribu per hari. Dari sekali memandu snorkeling, Maruddin mengaku bisa mengantongi minimal Rp 75 ribu.
Mereka beralih pekerjaan karena hasil melaut sudah tidak menjanjikan lagi."Ikan sudah banyak berkurang," ujar Sahabudin yang tidak lagi jadi nelayan sejak 2001. Menurut dia, ikan berkurang akibat nelayan dulu kerap menggunakan potasium saat melaut.
Potasium ditebar di kedalaman lebih dari 30 meter.Akibat potasium ini bermacam-macam. Ikan menjadi teler dan merusak biota laut lainnya di sejumlah wilayah Kepulauan Seribu.
Aksi menebar potasium juga berisiko tinggi bagi pelakunya. Nelayan biasa mengenakan alat bantu pernapasan seadanya, hanya pompa kompresor dan selang. Potasium, kata Sahabudin, sering mengakibatkan kematian dan menyebabkan tuberkulosis.
Sahabudin mengakui, hasil mencari ikan konsumsi dan ikan hias hasilnya lebih besar. Nelayan juga bisa mendapat penghasilan tiap hari. Sedangkan sektor pariwisata hanya ramai di akhir pekan. Meski begitu, " Risiko (pekerja sektor pariwisata) tidak mati,"ujar Sahabuddin berseloroh.
Perubahan mata pencarian itu disambut baik oleh Suku Dinas Perikanan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Suku Dinas menggelar pelatihan menyelam bawah permukaan secara gratis. Hasilnya, sejumlah nelayan telah mampu menyelam sesuai dengan aturan dan memiliki sertifikat, seperti Sahabuddin dan Maruddin.
Ismail juga menyambut baik perubahan ini demi mengurangi perburuan ikan dengan cara-cara yang merusak lingkungan laut. "Apalagi cara yang digunakan juga berbahaya dan mengancam jiwa nelayan sendiri,"ujar Ismail. ( tempo/puser)
Orang-orang seperti Marudin dan Sahabudin bekerja sama dengan sejumlah penginapan yang memang menyediakan fasilitas snorkeling. Di luar jasa pemandu, umumnya sewa alat snorkeling dipatok Rp 40 - Rp 50 ribu per hari. Dari sekali memandu snorkeling, Maruddin mengaku bisa mengantongi minimal Rp 75 ribu.
Mereka beralih pekerjaan karena hasil melaut sudah tidak menjanjikan lagi."Ikan sudah banyak berkurang," ujar Sahabudin yang tidak lagi jadi nelayan sejak 2001. Menurut dia, ikan berkurang akibat nelayan dulu kerap menggunakan potasium saat melaut.
Potasium ditebar di kedalaman lebih dari 30 meter.Akibat potasium ini bermacam-macam. Ikan menjadi teler dan merusak biota laut lainnya di sejumlah wilayah Kepulauan Seribu.
Aksi menebar potasium juga berisiko tinggi bagi pelakunya. Nelayan biasa mengenakan alat bantu pernapasan seadanya, hanya pompa kompresor dan selang. Potasium, kata Sahabudin, sering mengakibatkan kematian dan menyebabkan tuberkulosis.
Sahabudin mengakui, hasil mencari ikan konsumsi dan ikan hias hasilnya lebih besar. Nelayan juga bisa mendapat penghasilan tiap hari. Sedangkan sektor pariwisata hanya ramai di akhir pekan. Meski begitu, " Risiko (pekerja sektor pariwisata) tidak mati,"ujar Sahabuddin berseloroh.
Perubahan mata pencarian itu disambut baik oleh Suku Dinas Perikanan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Suku Dinas menggelar pelatihan menyelam bawah permukaan secara gratis. Hasilnya, sejumlah nelayan telah mampu menyelam sesuai dengan aturan dan memiliki sertifikat, seperti Sahabuddin dan Maruddin.
Ismail juga menyambut baik perubahan ini demi mengurangi perburuan ikan dengan cara-cara yang merusak lingkungan laut. "Apalagi cara yang digunakan juga berbahaya dan mengancam jiwa nelayan sendiri,"ujar Ismail. ( tempo/puser)