Ada macam-macam nelayan di Pulau Panggang, dan diantaranya adalah: nelayan ikan hias, nelayan jaring kongsi, nelayan jaring payang, nelayan jaring tegur (ada tegur tengah dan tegur darat), nelayan bubu, nelayan pancing, nelayan ngotrek, dan keramba kerapu.
Pekerjaan
dapat dipetakan berdasarkan wilayah (i) Barat lebih banyak nelayan
ikan hiasnya, (ii) Timur lebih banyak pegawai, nelayan jaring, dan
nelayan pancing.
Orang di wilayah barat sekolahnya lebih rendah dibanding orang di timur. Orang-orang di wilayah Barat semenjak sekolah telah mencari ikan dan banyak yang tidak menamatkan sekolah. Orang di wilayah timur lebih peduli pada pendidikan, sehingga banyak yang menjadi pegawai. Karena di Barat jarang yang menjadi pegawai, maka mempersulit di kemudian hari bagi orang Barat untuk melamar pegawai karena tidak ada orang dalami.
Jaring yang pertama kali dipraktekkan adalah jaring kongsi. Disebut kongsi karena harus dilakukan bersama-sama (hingga 18 orang). Dulunya disebut jaring jepang atau muroami karena yang memperkenalkan adalah orang jepang cuma bukan pada jaman jepang melainkan jaman belandaii. Perkembangan teknologi menyebabkan pemangkasan jumlah orang yang terlibat dalam jaring kongsi, karena pada masa awalnya dulu orang yang dibutuhkan hingga 50- an.
Versi lain menyebutkan yang pertama kali dikenalkan adalah jaring tenara (berasal dari Banten). perbedaan jaring kongsi dengan jaring tenara adalah pada jaring tenara ikan diambil dengan membawa ’giringan’ yang berupa bunyi-buniyan seperti besi yang diadu/ditumbuk satu dengan lainnya atau seperti kerincingan dari atas permukaan laut, sedangkan pada jaring kongsi ikan digiring dari bawah laut, dengan risiko yang lebih besar, karena memanfaatkan tenaga manusia yang menyelam degan kompresor.
Nelayan jaring payang (aktivitasnya disebut manyang) ditekuni mulai pada masa 60-an. Orang yang mengajarkan manyang pertama kali adalah orang Bugis. Manyang disebut sebagai cara yang paling ramah lingkungan karena tidak menginjak-injak karang. Ada belasan juragan payang dan pada saat manyang anak buah mencapai 4-5 orang. Pada tahun 80-an, hasil manyang lebih besar dari ikan hias. Tapi untuk saat ini sudah lima bulan Pak Imka tidak manyang karena tidak ada ikan.
Nelayan ikan hias ada sejak tahun 1970. Menangkap ikan hias adalah pekerjaan yang diturunkani. Pak Hakim menjadi nelayan ikan hias karena orang tuanya juga, dan kini anaknya pun juga. Tidak tahu tahun persisnya, tetapi jaring tegur telah ada sejak lama meskipun kalah dulu dibanding jaring jepang. Jaring tegur ada dua jenis tegur darat untuk perairan dangkal dan tegur tengah untuk perairan dalam. Bekerja jaring tegur butuh berhari-hari di laut (berangkat minggu pulang kamis), jumat dan sabtu tetap bekerja di darat membetulkan jaring. Anak buah jaring tegur jumlahnya sama seperti jaring kongsi, sekitar 18 orang. Ini sebabnya jumlah nelayan tegur lebih banyak dibanding nelayan payang.
Untuk saat ini, tidak ada nelayan Pulau Panggang yang menjadi nelayan bagan padahal dulu paling banyak. Modal yang besar menjadi nelayan bagan adalah satu penyebab hilangnya profesi nelayan bagan. Seorang nelayan ikan hiasiiitidak mempercayai slogan konservasi laut bahwa jika laut tidak dirawat maka ikan akan habis. Argumen yang ia sampaikan sederhana saja: ikan masih ada sampai sekarang.
Masyarakat Pulau Panggang dinilai tidak kompak untuk urusan menjaga lautnya. Nelayan Pulau Panggang dilarang mencari ikan di wilayah lain (dapat diperbolehkan jika mengurus izin). Di Pulau Tonda misalnya, jika ada orang luar masuk maka hingga lima kapal orang lokal akan mengejarnya kecuali jika sudah ada izin. Nelayan Panggang tidak melakukan hal yang sama terhadap orang luar yang memasuki perairannya, bahkan ketika orang luar itu merugikan secara langsung nelayan lokal. Misalnya nelayan jaring payang yang dirugikan oleh kapal kursein yang beroperasi di dekat rumpon mereka sehingga ikan-ikan di rumpon tertarik ke jaring kursein. Tidak ada hal apapun yang mereka lakukan untuk mengusir kapal-kapal kursein tersebut. Misal kedua adalah pencurian balong di keramba. Meskipun sudah beberapa kali terjadi, para pemilik keramba yang notabene berada pada satu hamparan yang sama tidak bekerjasama menjaga keramba. Yang dilakukan adalah menjaga keramba masing-masing.
Dalam praktek sehari-hari nelayan telah mengelompok dengan hubungan bos/juragan-anak buah. Nelayan ikan hias, kongsi, payang, tegur, kesemuanya ada bos/juragan dan anak buah. Anak buah tidak terikat pada bos kecuali si anak buah memiliki hutang. Jika si anak buah tidak memiliki hutang, maka anak buah bisa bebas ikut/jual ke bos manapun yang paling menguntungkan untuknya. Pada kasus Pak Hakim, anak buahnya berpindah ke bos lain karena THR yang ia berikan dirasa kurang.
Pengelompokan alamiah ini tidak digunakan pada saat ada program bantuan dari pemerintah. Masyarakat diminta membentuk kelompok baru dan sesama juragan berkumpul menjadi satu kelompok. Pada saat bantuan jaring payang diberikan, dan itu tidak mungkin dipotong-potong untuk dibagi-bagi pada semua juragan di kelompok tersebut, akhirnya jaring itu teronggok percuma. Kesepakatan kelompok menyatakan bahwa jaring tersebut dijual saja untuk kemudian uangnya dibagi rata, tetapi hingga kini belum terjual. Andaikan pun terjual, hasilnya menjadi tidak lagi berkesinambungan dan memberi nilai tambah.
Hubungan pinjam meminjam uang melahirkan istilah pengentotan, ialah orang yang hutangnya menumpuk dan tidak dibayar-bayar. Orang pulau memiliki tiga opsi untuk meminjam uang (i) kepada juragan, (ii) kepada tetangga, dan (iii) kepada koperasi. Juragan dan tetangga tidak memintakan bunga, tetapi koperasi mengenakan bunga sebagai jasa. Untuk meminjam kepada koperasi butuh menunggu satu tahun, sedangkan dengan juragan dan tetangga bisa setiap saat. Prosedur apapun tidak dibutuhkan pada saat meminjam ke juragan dan tetangga, beda halnya dengan koperasi.
Meskipun tanpa prosedur, tingkat pengentotan tergolong rendah jika tidak bisa dikatakan tidak ada. Ada satu kasus seorang anak buah jaring kongsi yang berpindah juragan padahal ia masih punya hutang dengan juragan yang lama, tindakan yang dilakukan oleh juragan kreditor ini hanyalah mendatangi rumah si mantan anak buah untuk kemudian diajak bicara baik-baik. Dengan cara itupun terselesaikan urusan hutang piutang ini.
Orang di wilayah barat sekolahnya lebih rendah dibanding orang di timur. Orang-orang di wilayah Barat semenjak sekolah telah mencari ikan dan banyak yang tidak menamatkan sekolah. Orang di wilayah timur lebih peduli pada pendidikan, sehingga banyak yang menjadi pegawai. Karena di Barat jarang yang menjadi pegawai, maka mempersulit di kemudian hari bagi orang Barat untuk melamar pegawai karena tidak ada orang dalami.
Jaring yang pertama kali dipraktekkan adalah jaring kongsi. Disebut kongsi karena harus dilakukan bersama-sama (hingga 18 orang). Dulunya disebut jaring jepang atau muroami karena yang memperkenalkan adalah orang jepang cuma bukan pada jaman jepang melainkan jaman belandaii. Perkembangan teknologi menyebabkan pemangkasan jumlah orang yang terlibat dalam jaring kongsi, karena pada masa awalnya dulu orang yang dibutuhkan hingga 50- an.
Versi lain menyebutkan yang pertama kali dikenalkan adalah jaring tenara (berasal dari Banten). perbedaan jaring kongsi dengan jaring tenara adalah pada jaring tenara ikan diambil dengan membawa ’giringan’ yang berupa bunyi-buniyan seperti besi yang diadu/ditumbuk satu dengan lainnya atau seperti kerincingan dari atas permukaan laut, sedangkan pada jaring kongsi ikan digiring dari bawah laut, dengan risiko yang lebih besar, karena memanfaatkan tenaga manusia yang menyelam degan kompresor.
Nelayan jaring payang (aktivitasnya disebut manyang) ditekuni mulai pada masa 60-an. Orang yang mengajarkan manyang pertama kali adalah orang Bugis. Manyang disebut sebagai cara yang paling ramah lingkungan karena tidak menginjak-injak karang. Ada belasan juragan payang dan pada saat manyang anak buah mencapai 4-5 orang. Pada tahun 80-an, hasil manyang lebih besar dari ikan hias. Tapi untuk saat ini sudah lima bulan Pak Imka tidak manyang karena tidak ada ikan.
Nelayan ikan hias ada sejak tahun 1970. Menangkap ikan hias adalah pekerjaan yang diturunkani. Pak Hakim menjadi nelayan ikan hias karena orang tuanya juga, dan kini anaknya pun juga. Tidak tahu tahun persisnya, tetapi jaring tegur telah ada sejak lama meskipun kalah dulu dibanding jaring jepang. Jaring tegur ada dua jenis tegur darat untuk perairan dangkal dan tegur tengah untuk perairan dalam. Bekerja jaring tegur butuh berhari-hari di laut (berangkat minggu pulang kamis), jumat dan sabtu tetap bekerja di darat membetulkan jaring. Anak buah jaring tegur jumlahnya sama seperti jaring kongsi, sekitar 18 orang. Ini sebabnya jumlah nelayan tegur lebih banyak dibanding nelayan payang.
Untuk saat ini, tidak ada nelayan Pulau Panggang yang menjadi nelayan bagan padahal dulu paling banyak. Modal yang besar menjadi nelayan bagan adalah satu penyebab hilangnya profesi nelayan bagan. Seorang nelayan ikan hiasiiitidak mempercayai slogan konservasi laut bahwa jika laut tidak dirawat maka ikan akan habis. Argumen yang ia sampaikan sederhana saja: ikan masih ada sampai sekarang.
Masyarakat Pulau Panggang dinilai tidak kompak untuk urusan menjaga lautnya. Nelayan Pulau Panggang dilarang mencari ikan di wilayah lain (dapat diperbolehkan jika mengurus izin). Di Pulau Tonda misalnya, jika ada orang luar masuk maka hingga lima kapal orang lokal akan mengejarnya kecuali jika sudah ada izin. Nelayan Panggang tidak melakukan hal yang sama terhadap orang luar yang memasuki perairannya, bahkan ketika orang luar itu merugikan secara langsung nelayan lokal. Misalnya nelayan jaring payang yang dirugikan oleh kapal kursein yang beroperasi di dekat rumpon mereka sehingga ikan-ikan di rumpon tertarik ke jaring kursein. Tidak ada hal apapun yang mereka lakukan untuk mengusir kapal-kapal kursein tersebut. Misal kedua adalah pencurian balong di keramba. Meskipun sudah beberapa kali terjadi, para pemilik keramba yang notabene berada pada satu hamparan yang sama tidak bekerjasama menjaga keramba. Yang dilakukan adalah menjaga keramba masing-masing.
Dalam praktek sehari-hari nelayan telah mengelompok dengan hubungan bos/juragan-anak buah. Nelayan ikan hias, kongsi, payang, tegur, kesemuanya ada bos/juragan dan anak buah. Anak buah tidak terikat pada bos kecuali si anak buah memiliki hutang. Jika si anak buah tidak memiliki hutang, maka anak buah bisa bebas ikut/jual ke bos manapun yang paling menguntungkan untuknya. Pada kasus Pak Hakim, anak buahnya berpindah ke bos lain karena THR yang ia berikan dirasa kurang.
Pengelompokan alamiah ini tidak digunakan pada saat ada program bantuan dari pemerintah. Masyarakat diminta membentuk kelompok baru dan sesama juragan berkumpul menjadi satu kelompok. Pada saat bantuan jaring payang diberikan, dan itu tidak mungkin dipotong-potong untuk dibagi-bagi pada semua juragan di kelompok tersebut, akhirnya jaring itu teronggok percuma. Kesepakatan kelompok menyatakan bahwa jaring tersebut dijual saja untuk kemudian uangnya dibagi rata, tetapi hingga kini belum terjual. Andaikan pun terjual, hasilnya menjadi tidak lagi berkesinambungan dan memberi nilai tambah.
Hubungan pinjam meminjam uang melahirkan istilah pengentotan, ialah orang yang hutangnya menumpuk dan tidak dibayar-bayar. Orang pulau memiliki tiga opsi untuk meminjam uang (i) kepada juragan, (ii) kepada tetangga, dan (iii) kepada koperasi. Juragan dan tetangga tidak memintakan bunga, tetapi koperasi mengenakan bunga sebagai jasa. Untuk meminjam kepada koperasi butuh menunggu satu tahun, sedangkan dengan juragan dan tetangga bisa setiap saat. Prosedur apapun tidak dibutuhkan pada saat meminjam ke juragan dan tetangga, beda halnya dengan koperasi.
Meskipun tanpa prosedur, tingkat pengentotan tergolong rendah jika tidak bisa dikatakan tidak ada. Ada satu kasus seorang anak buah jaring kongsi yang berpindah juragan padahal ia masih punya hutang dengan juragan yang lama, tindakan yang dilakukan oleh juragan kreditor ini hanyalah mendatangi rumah si mantan anak buah untuk kemudian diajak bicara baik-baik. Dengan cara itupun terselesaikan urusan hutang piutang ini.
Perikanan Budidaya
Menurut beberapa nelayan keadaan sumberdaya ikan yang semakin
menyusut secara otomatis membuat mereka berpikir mengenai profesi lain
di luar nelayan tangkap. Introduksi budidaya seperti rumput laut telah
dikenalkan oleh pemerintah sebagai program alternatif untuk
keberlangsungan hidup (sustainable livelihood), namun kendala program
ini adalah daya dukung lingkungan (carrying capacity) sekitar pulau.
Menurut Syakur masyarakat pulau lebih banyak meniru dan latah. Sehingga jika program diperkenalkan maka tidak banyak yang mengikuti sampai program itu terbukti sukses. Permasalahan ini kemudian menjadi mengemuka ketika mereka mulai meniru program yang sukses. Dalam proses peniruan seringkali pengelola program yang juga masyarakat pulau Panggang, tidak memperhatikan aspek sosial. aspek sosial yang dimaksud oleh Syakur adalah penyebaran informasi dan penyuluhan terhadap nelayan budidaya di luar kerangka proyek. Asumsi mereka adalah sebagai orang pulau seharusnya para pengelola proyek memperhatika masyakatnya sendiri, apalagi semua pendamping untuk program pemerintah adalah ‘orang pulau’.
Perkembangan masyarakat dari nelayan tangkap ke nelayan budidaya dapat memenuhi asumsi akal sehat masyarakat karena secara ekologis pulau Panggang telah rusak karena banyak faktor, antara lain praktek penangkapan yang tidak ramah lingkungan (sianida, bom), penangkapan yang melebihi ambang batas (over fishing), ledakan penduduk yang mempengaruhi ketersediaan ruang hunian, dan aturan main yang mengurangi akses masyarakat terhadap sumberdaya.
Namun secara kasat mata program budidaya yang berjalan pernah sukses sperti rumput laut, namun berangsur hancur karena daya dunkung lingkungan yang telah rusak dan penyuluhan yag tidak lagi intensif setelah proyek selesai. Program budidaya yang sekarang berlangsung dan ditiru oleh masyarakat adalah budidaya krapu. Budidaya krapu ini berlangsung tanpa penyuluhan dari penyuluh yang ada, karena nelayan-nelayan ini ‘di luar kelompok penerima manfaat’, atau d luar bentukan proyek.
Sumber : Tulisan Bpk. Sudiman,S.Pi, M.Si (Ringkas sejarah kultur budaya pulau panggang)
Sumber / Link : Pulau Seribu Jakarta
Menurut Syakur masyarakat pulau lebih banyak meniru dan latah. Sehingga jika program diperkenalkan maka tidak banyak yang mengikuti sampai program itu terbukti sukses. Permasalahan ini kemudian menjadi mengemuka ketika mereka mulai meniru program yang sukses. Dalam proses peniruan seringkali pengelola program yang juga masyarakat pulau Panggang, tidak memperhatikan aspek sosial. aspek sosial yang dimaksud oleh Syakur adalah penyebaran informasi dan penyuluhan terhadap nelayan budidaya di luar kerangka proyek. Asumsi mereka adalah sebagai orang pulau seharusnya para pengelola proyek memperhatika masyakatnya sendiri, apalagi semua pendamping untuk program pemerintah adalah ‘orang pulau’.
Perkembangan masyarakat dari nelayan tangkap ke nelayan budidaya dapat memenuhi asumsi akal sehat masyarakat karena secara ekologis pulau Panggang telah rusak karena banyak faktor, antara lain praktek penangkapan yang tidak ramah lingkungan (sianida, bom), penangkapan yang melebihi ambang batas (over fishing), ledakan penduduk yang mempengaruhi ketersediaan ruang hunian, dan aturan main yang mengurangi akses masyarakat terhadap sumberdaya.
Namun secara kasat mata program budidaya yang berjalan pernah sukses sperti rumput laut, namun berangsur hancur karena daya dunkung lingkungan yang telah rusak dan penyuluhan yag tidak lagi intensif setelah proyek selesai. Program budidaya yang sekarang berlangsung dan ditiru oleh masyarakat adalah budidaya krapu. Budidaya krapu ini berlangsung tanpa penyuluhan dari penyuluh yang ada, karena nelayan-nelayan ini ‘di luar kelompok penerima manfaat’, atau d luar bentukan proyek.
Sumber : Tulisan Bpk. Sudiman,S.Pi, M.Si (Ringkas sejarah kultur budaya pulau panggang)
Sumber / Link : Pulau Seribu Jakarta