Pulau Pari - Dengan luas sekitar 94,57 hektar, Pulau Pari merupakan gugusan pulau yang masuk Pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (Pemkab Kep. Seribu). Sebelumnya, pulau ini merupakan pulau pengungsian bagi pelarian warga sekitar yang menolak dijadikan pekerja paksa oleh Belanda. Kini, Pulau Pari menjadi sentra budidaya rumput laut yang menopang kehidupan warganya.

Sebelum tahun 1900-an, Pulau Pari merupakan pulau tak berpenghuni dan belum memiliki nama. Berkuasanya Belanda pada waktu itu memaksa sejumlah warga sekitar Tangerang menetap disana untuk menghindari kerja paksa.
 
Seperti dituturkan Arsyad warga Pulau Pari sekaligus, keluarga pertama yang menghuni pulau tersebut. Sekitar 1900-an, ia dan keluarganya melarikan diri ke pulau yang tak berpenghuni dan tak bernama tersebut. Bermodalkan perahu cadik, sekuat tenaga ia mendayung perahu dari Tangerang ke pulau tersebut untuk menetap disana. "Saat menetap, kami menyebut pulau ini dengan Pulau Pandawa karena anak kami ada lima," katanya.

Kepergiannya ke Pulau Pari, lanjutnya, untuk menghindari kebijakan pemerintahan Belanda yang memaksa seluruh warga menjadi tenaga kerja paksa. Pasalnya, dari beberapa warga Tangerang yang sempat dijadikan pekerja paksa, mereka tak ada yang pernah kembali.

Semenjak tinggal di pulau tersebut, kehidupan keluarga Arsyad berjalan normal. Keahliannya sebagai nelayan, dijadikan modal untuk menafkahi seluruh keluarganya. Setelah beberapa lama menetap, Arsyad menyebut pulau tersebut dengan Pulau Pari karena disekitarnya terdapat banyak sekali habitat ikan pari.

Kehidupan keluarga Arsyad yang tenang ternyata tercium oleh para tetangganya. Karena tak lama kemudian, sejumlah keluarga yang berasal dari Tangerang mengikuti jejaknya ke Pulau Pari. "Kebanyakan para pendatang baru berasal dari Kampung Rawa Saban, Karang Serang, Ketapang, Mauk, dan Kronjo Tangerang," ungkapnya.

Karena berasal dari daerah yang sama, akhirnya keluarga Arsyad dan para pendatang baru tersebut berbaur membina suatu lingkungan sosial yang harmonis. Sekitar tahun 1943, kehidupan harmonis warga Pulau Pari sempat terusik dengan kedatangan Jepang yang menguasai pulau tersebut. Pada masa ini, sebagian besar warga dipaksa Jepang menjadi nelayan tangkap tanpa dibayar sedikitpun.

Beruntung, kekuasaan Jepang di pulau tersebut tak berlangsung lama. Sejak Presiden pertama RI mengumandangkan proklamasi, Jepang pun angkat kaki dari pulau tersebut. Sejak hengkangnya Jepang, salah satu warga Pulau Pari berinisiatif memberikan pendidikan bagi warga pulau untuk mengembangkan pola pikir masyarakat melalui pendidikan formal.

“Bapak Mansyur selaku pencetus sekolah rakyat (SR) disana merasa terpanggil untuk meningkatkan mutu pendidikan di pulau tersebut," ungkapnya. Sekitar tahun 1960-an, dengan swadaya masyarakat dan bantuan dari Pemerintah setempat, dibangunlah gedung sekolah sederhana. Pembangunan gedung sekolah ini, sekaligus menandakan perubahan SR menjadi Sekolah Dasar (SD).

Berkat pendidikan yang ada, akhirnya pengetahuan masyarakat mengalami perkembangan. Dari yang tadinya hanya mengandalkan penghasilan dari nelayan, mereka mulai mencoba mengeksploitasi perairan sekitar dengan melakukan budidaya. Rumput laut Bali menjadi pilihan sebagai komoditi untuk dibudidayakan.

Antusiasme masyarakat untuk membudidayakan rumput laut, ternyata mendapat lampu hijau dari pemerintah. Tak lama kemudian, pemerintah membangun pusat penelitian yang dimotori Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menempati sisi barat Pulau Pari, Gubernur Ali Sadikin langsung meresmikan Kantor LIPI yang berfungsi sebagai pusat penelitian rumput laut.

Kini, rumput laut Bali menjadi andalan budidaya yang berhasil untuk dijadikan bibit di perairan Pulau Pari. Ditambah lagi, dengan keindahan terumbu karang dan aneka jenis ikan di sekitar laut pulau tersebut memberikan banyak perubahan ekonomi bagi warga itu sendiri. (Kang Lintas)

Text Widget

Popular Posts

Recent Posts

Sample Text

Unordered List

Pulau Seribu