img-kcl Perubahan status dari kecamatan menjadi kabupaten pada 1999 harus diakui tak dilalui lewat pergumulan dan partisipasi yang intens oleh masyarakat di Kepulauan Seribu. Perubahan ini lebih sekadar “hadiah” Jakarta untuk masyarakat pulau. Pada 31 Agustus 1999, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie mengesahkan UU Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta. Di dalamnya berisi peningkatan status Kepulauan Seribu. Presiden Abdurrahman Wahid kemudian mengesahkan PP No 55 Tahun 2011 tentang Pembentukan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, 3 Juli 2001.

Dengan kata lain, ketika itu SDM yang ada sebetulnya belum cukup siap mengisi dan mengawal perubahan. Mungkin itu pula yang membuat penguatan demokrasi, yang salah satunya dicirikan dengan tingginya partisipasi publik, di wilayah dengan 21 ribu penduduk ini belum cukup mengakar hingga hari ini.


Tentu saja, SDM-nya kini jauh berkembang di banding 12 tahun lalu. Kini mereka yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi jauh lebih banyak dan beragam. PNS asal putera Pulau Seribu juga tak terbilang sedikit. Sebagian kecil dari mereka bahkan menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan. Pada umumnya posisi-posisi strategis masih diisi “Jakarta”.


Banyaknya PNS asal putera pulau dan sebagiannya mengisi posisi strategis itu juga belum menjamin terakomodasinya kepentingan publik masyarakat Pulau Seribu. Seperti umumnya ciri kelas menengah di Indonesia, mereka bahkan lebih senang memilih “zona aman”. Harus diingat, suara mereka tentu lebih membawa kepentingan institusi tempatnya bekerja.


Banyaknya SDM asal Pulau Seribu di pemerintahan itu kadang-kadang tampak dimanfaatkan demi “melunakan” suara-suara kritis dari masyarakat. Apalagi masyarakat pulau umumnya memiliki relasi kekerabatan yang kuat. Dan faktor ini seringkali jadi problem kultural dalam menyuarakan suara kritis dalam setiap pengambilan keputusan publik.
 
Memang masih ada elemen-elemen kritis di luar pemerintahan. Namun, lantaran sebagiannya belum cukup mandiri dari sisi ekonomi dan status sosial, mau tak mau masih harus berkompromi atau saling memanfaatkan untuk sekedar mendapatkan keuntungan tertentu. Fenomena ini tampak mengjangkiti organisasi kemahasiswaan dan langkah beberapa aktivis pemuda, apalagi aktivis partai.
 
Sebetulnya, sejauh memiliki kemandirian ekonomi, elemen tokoh agama dan asosiasi kemasyarakat seperti asosiasi nelayan juga isteri-isteri mereka masih cukup penting dipertimbangkan menjadi kekuataan kritis dalam setiap pengambilan keputusan publik. Selebihnya, berharap pada aktivis kepemudaan, mahasiswa, dan penguasaha yang masih memiliki visi.

Untuk memperkuat kekuatan yang tersebar di sejumlah pulau berpenduduk, termasuk yang ada di Jakarta dan sekitarnya, harus ada upaya terus menerus menjahit mereka di tengah problem geografis yang terpisah lautan. Pada saat yang sama melakukan upaya penguatan kualitas SDM seperti pendidikan advokasi penyadaran hukum dan lain-lain.


Tiga Isu


Setidaknya ada tiga isu besar yang bisa menjadi sorotan penting kekuatan elemen kritis ini ke depan. Pertama, korupsi. Seperti di daerah lain, korupsi jelas problem akut bangsa ini, tak terkecuali di Kepulauan Seribu. Tahun 2010 kejaksaan memproses kasus korupsi bandara Pulau Panjang yang diduga merugikan negara sekitar Rp 1,2 Miliar. Pada 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyidangkan kasus dugaan korupsi di Kantor Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu yang merugikan negara Rp 3,5 miliar. Ini belum termasuk indikasi korupsi yang tak tercium media dan diusut pengadilan. Dengan minimnya kontrol masyarakat, penyimpangan bisa terus mewabah.


Kedua, transparansi publik. Elemen kritis ini harus bisa memastikan bahwa informasi publik dapat diakses dengan mudah dan pengambilan keputusannya melibatkan partisipasi masyarakat sebanyak mungkin. Prinsip transparansi ini juga bisa efektif mengurangi penyimpangan pengelolaan pembangunan dan penggunaan dana publik.
 
Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) baik di tingkat kelurahan, kecamatan, atau kabupaten, misalnya, masyarakat memang cukup banyak dilibatkan.
 
Tapi problem yang sering terjadi biasanya perubahan-perubahan di tingkat penyusunan anggaran tak mudah diakses, termasuk juga ketika disahkan menjadi APBD yang bisa dijadikan dasar masyarakat untuk mengontrol dan mengawasi pembangunan. Kini UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberi legitimasi bagi setiap badan publik untuk menyediakan informasi publik setiap saat yang meliputi seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya. Bagi masyarakat yang merasa dirugikan, bisa membawa masalah ini ke pengadilan informasi publik.

Ketiga, pendampingan masyarakat kurang beruntung. Kelompok ini semestinya bisa menjadi teman untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Misalnya, bagaimana masyarakat nelayan bisa mendapatkan ganti rugi akibat pencemaran lingkungan yang terjadi baru-baru ini? Bagimana mendapatkan hak atas lahan pekuburan yang memadai seperti yang kini jadi masalah buat masyarakat Pulau Harapan? Bagaimana mereka yang diperas dan mendapatkan kekerasan fisik oleh aparat mendapatkan keadilan?


Boleh jadi, problem-problem sosial dan akses publik selama ini tak muncul karena masyarakat memang tak tahu harus mengadu ke mana, dan tak ada pihak yang menyuarakan. Kerja ini jelas membutuhkan penguasaan wawasan hukum dan jejaring yang lebih luas lagi.
 
Penulis: Alamsyah M. Dja’far *Pendiri Forum Peduli Pulau (FPP), Pulau Tidung Kepulauan Seribu 

Text Widget

Popular Posts

Recent Posts

Sample Text

Unordered List

Pulau Seribu