Pulau Tidung yang bisa berarti Pulau
Tidur atau Pulau Pelindung, hanyalah satu dari puluhan pulau besar,
di gugusan Kepulauan Seribu yang berpenduduk. Berada di kawasan
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kab. Kepulauan Seribu.
Pulau Tidung
merupakan pulau berpenghuni terbanyak kedua, setelah Pulau Kelapa.
Dihuni tak kurang dari 1000 jiwa, sebagian besar penduduk dari Pulau
Tidung, berprofesi sebagai nelayan dan penyelam tradisional.
Sebagian lain, bekerja sebagai petani pantai.
Di Pulau Tidung inilah, seorang
bidan bernama Hafshah, tinggal. Telah 4 tahun, Hafshah menjadi bidan
keliling di kawasan Kepulauan Seribu, melayani kesehatan para ibu
dan anak. Secara berkala, minimal seminggu 2 kali, Bidan Hafshah
berkeliling dari pulau ke pulau memberikan penyuluhan kesehatan,
memasang alat kontrasepsi untuk kaum ibu, melakukan kunjungan untuk
para ibu, ibu hamil dan memeriksa kesehatan anak-anak.
Tidak jarang Hafshah juga harus
merelakan malam istirahatnya untuk memenuhi panggilan pasien yang
akan melahirkan. Meski itu berarti ia harus terapung-apung
mengarungi lautan di tengah malam, menuju pulau lain. Seringkali alat
transportasi yang digunakan adalah perahu nelayan biasa, tanpa
mesin, sehingga tidak bisa segera sampai di tujuan. Belum lagi jika
musim ombak tiba.
Sebagai bidan keliling antar-pulau,
sering sekali Hafshah dipanggil untuk segera menolong proses
kelahiran bayi, ke pulau lain. Jika sudah dalam situasi demikian, ia
bisa seharian menunggui pasien, atau bahkan kadang harus menginap.
Penyebab terbesar kematian
ibu bersalin adalah perdarahan yang terjadi pada pasca persalinan,
dan perdarahan di awal kehamilan. Hal ini bisa menimbulkan kematian,
jika tidak segera mendapat pertolongan dalam jangka waktu 2 jam. Di
sinilah peran bidan di tempat terpencil seperti kawasan Kepulauan
Seribu ini menjadi amat penting. Mengingat sebagian besar persalinan
dilakukan di rumah.
Namun demikian, seringkali
profesi bidan harus berbenturan dengan keberadaan dukun beranak,
yang biasanya secara psikologis lebih dekat dengan penduduk setempat.
Bahkan, tidak jarang bidan juga hanya dipandang sebelah mata jika ada
dokter. Hafshah sendiri merasa beruntung, sebagai warga asli Pulau
Tidung, ia telah berhasil melewati kendala-kendala psikologis
semacam itu sehingga tugasnya lebih mudah.
Selain kurangnya sarana dan
prasarana medis serta alat transportasi yang kurang memadai, masalah
lain adalah masih sering terjadi keterlambatan penerimaan honor
atau gaji. Hafshah dan rekan-rekannya di Kepulauan Seribu ini masih
cukup beruntung gaji bulanan bisa mereka terima setiap bulan. Namun
tunjangan khusus yang diberikan oleh kabupaten masih belum teratur
datangnya. Entah bagaimana nasib para bidan lainnya yang berada di
pelosok, jauh dari kota.
Padahal bidan di desa merupakan
ujung tombak pelayanan kesehatan, terutama pelayanan persalinan.
Pada pundak merekalah sebagian harapan menurunkan angka kematian ibu
di Indonesia, tertumpah. Saat ini angka kematian ibu di tanah air
masih tertinggi untuk kawasan ASEAN.
Hafshah dan teman-teman
seprofesinya tentu tidak berharap muluk. Harapan mereka sederhana
saja. Keikhlasan mereka dihargai dengan kepedulian pemerintah pada
nasib mereka dan dukungan memadai terhadap pelaksanaan profesi ini.(Idh)