Siang itu sang surya mulai akan meninggi, sinarnya yang sedikit hangat mendekati panas mulai menyapu kulit warga Pulau Tidung, Kepulauan Seribu Selatan. Ini akhir pekan yang telah tak mampu lagi dihitung sejak pulau pemilik 'Jembatan Cinta' ini menjadi perhatian kaum urban untuk sekadar menghilangkan kepenatan aktivitas kota. Mereka menghabiskan waktu menikmati kejernihan air laut dan belaian pasir putih sambil menatap senja di upuk timur.

Ratusan bahkan mungkin ribuan para pecandu wisata datang tiap akhir pekan ke pulau yang konon, warganya dahulu cukup religius dan kuat mejaga tradisi lokal. Ekonomi warga mulai terangkat, itu menurut sebuah tulisan di koran besar di Indonesia. Warga yang sebelumnya menyambung hidup dengan mengorbankan hidup (nelayan muroami. red) kini beralih menjadi penyegar hidup mereka yang gila akan tempat indah dan nyaman menjadi pelaku jasa wisata.
Pertanyaan besarnya, apakah Juki (54) (nama disamarkan atas permintaan yang bersangkutan. red) salah seorang warga juga kebagian kue wisata itu?. Nah, tak salah kita lihat kehidupan sedikit kaum marjinal ini yang menyambung hidup dari hanya menjual pelepah dahan Pohon Kelapa untuk kayu bakar di tengah gempuran kompor gas yang hampir 100 persen digunakan warga Pulau Tidung untuk memasak. Duh, ini Jakarta sebuah ibukota negara, jadi kenapa harus ada Juki?.

Dengan menggunakan baju lusuh bergambarkan sebuah partai yang menjadi idola, Juki yang gubuknya tak jauh dari megahnya Kantor Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan ini mulai menyusun satu demi satu pelepah dahan pohon kelapa yang diambilnya dari lahan kosong di pulau itu. Dibantu istri dan ibu tercinta, pelapah penjadi harapan hidupnya itu mulai tersusun rapi dan siap di edarkan keliling ke daerah pemukiman.


Suara dari gesekan roda gerobak ke jalan aspal mulai menghiasi keseharian Juki. Dengan sabar dan penuh harapan, dia menawarkan pelepahnya ke tiap warga, kalau-kalau ada yang berminat untuk dijadikan kayu bakar. "Tiap hari seperti ini, biasanya ada saja yang beli meski hanya sedikit," ujar Juki sesekali menepis butiran keringat yang mulai mengganggu dahi hitamnya.


Dari menjual pelepah pohon kelapa, Juki mengaku dapat mengantongi uang sekitar Rp 15 ribu perhari. Itu pun, kata bapak lima anak ini kalau cuaca bagus. Bila hujan, pelepahnya tidak laku terjual. Sudah itu, dia dan istrinya banting stir pekerjaan yang tak kalah hebat yakni sebagai pembersih pantai dari sampah plastik. "Yang penting halal dan tidak menyusahkan orang lain, jadi pemulung juga kami jalani," kata Juki.


Lalu bagaimana dengan bantuan dari pemerintah, misalnya jatah beras miskin (raskin) atau jaminan kesehatan kalau-kalau dia dan keluarganya ada yang sakit?. Juki mengaku bersyukur, dia tak pernah absen mengambil jatah raskin yang menjadi haknya dan mendapat keringanan pelayanan kesehatan di Puskesmas setempat. "Perhatian pemerintah tidak kurang ke kami dan itu kami syukuri," jelasnya.


Namun, raut wajah Juki yang dihiasi kerutan kemiskinan mulai berubah muram saat disinggung pesatnya wisata di pulau tempat tinggalnya. Dia tegas mengatakan, warga yang mana menikmati hasil dari pariwisata, dirinya atau Juki-juki lainnya hanya menjadi penonton setia lenggak lenggok kemolekan wisata yang kembali menurut koran besar Indoenasi, wisata mampu meningkatkan ekonomi warga. Ya, ini hanya sebuah gambaran kecil dari sebuah lukisan kehidupan.


Jadi mungkin, bungkus sederhananya adalah kemajuan suatu wilayah tak melulu memberikan angin segar bagi semua warga. Dia yang dapat memanfaatkan kesempatan akan mendapat hadiah dari kesempatan itu. Sementara Juki yang hanya berperan sebagai fuguran hanya dapat termangu sambil mensyukuri kemakmuran saudara, kerabat, atau apalah namanya bergelimang rupiah dari pesatnya yang bernama wisata. (bpsc)

Text Widget

Popular Posts

Recent Posts

Sample Text

Unordered List

Pulau Seribu