Mabok
terumbu karang, ikan, sepeda, Jack Daniels, dan tentu saja, ombak laut!
Itulah menu kami selama dua hari bertualang di keindahan Pulau Tidung,
satu dari sekian banyak pulau di kawasan Pulau Seribu, yang baru saja
dimenangkan oleh DKI Jakarta dalam sengketa administrasi melawan Banten.
Perjalanan pada Sabtu pagi dimulai dengan tidak mengesankan, jika tidak boleh dibilang mengerikan...
Muara
Angke, tempat kami bertolak, bukanlah lokasi impian saya untuk bangun
di pagi hari. Air pasang masuk ke jalanan dan kawasan pasar. Aroma ikan
dan binatang laut lainnya menyengat hidung. Angkutan umum dan pribadi
tumplek jadi satu. Kemacetan becek yang bau. Sungguh seperti berada
dalam perangkap limbo terkutuk!
Terlambat
satu jam dari jadual, terima kasih pada tukang copet di KRL Bogor-Kota
yang sukses mencopet ponsel si Tombol, kami bertolak menggunakan perahu
kecil. Panjangnya 18-an meter. Kapasitas maksium hanya 30-an orang. Jauh
dibawah ukuran belasan kapal lainnya yang bertolak bersamaan menuju
Pulau Tidung dan Pulau Pramuka.
Menurut
keterangan orang Pulau Tidung, akhir pekan itu sekitar 3.000 turis dari
Jakarta singgah ke pulau. Bukan jumlah yang sedikit kan?
Kecepatan
kapal kecil kami, yang tidak bisa dibilang memuaskan, seolah belum
cukup menjengkelkan. Terhitung tiga kali kami terpaksa berhenti. Satu
kali karena baling-baling kapal tersangkut sampah, yang rupanya juga
dialami oleh beberapa kapal lainnya. Dua sisanya karena mesin kapal
mati. Untuk ini, hanya kami yang mengalami. Dear God!
Satu
jam setengah perjalanan santai mengarungi ombak pagi yang gemulai,
Pulau Onrust sudah kami lewati. Bidadari juga. Laut tanpa batas
terhampar luas. Airnya tak lagi pucat seperti di Muara Angke. Disini, di
tengah laut yang jauh dari ketidakpedulian Jakarta, laut masih
berdaulat penuh. Airnya biru. Sejuk. Segar.
Tiga
jam lebih sedikit dan kami pun tiba di pelabuhan Pulau Tidung. Sepi.
Hanya kapal-kapal kosong yang bersandar. Tentu saja! Kami kan tertinggal
jauh dibanding rombongan yang lain.
Setelah
makan siang di homestay, di rumah seorang hajah bernama Suaidah yang
nama kerennya di palang depan rumah tertera sebagai Audi, kami bergegas
menuju pelabuhan khusus bagi kapal-kapal kecil. Kapal yang akan membawa
kami ke pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Tidung. Tentu saja untuk
snorkeling. Untuk berenang menikmati sejuk dan beningnya air laut, serta
keindahan makhluk Tuhan yang bersemayam didalamnya.
Jika
Tuhan demikian tulus menciptakan keindahan seperti terumbu karang dan
ikan sejuta warna disana, kenapa ya, banyak sekali orang di Jakarta yang
memuja Tuhan dengan segala macam bentuk kekerasan dan keburukan?
Selama
dua jam penuh kami bermain air. Mengapung dan sesekali menyelam,
mengejar sekelompok ikan berwarna kuning, biru, dan hijau.
Terbengong-bengong
diatas terumbu karang yang besarnya melebihi ukuran meja rapat di
kantor. Terpesona oleh bentuk sebagian terumbu yang menyerupai bunga
mawar. Terkaget-kaget oleh Bulu Babi yang hitam dan runcing laksana
Landak, yang bersembunyi disela-sela karang.
Dan
bakwan, ciptaan emak-emak penjual gorengan di tepi jalan pelabuhan itu,
sungguh tidak pernah terasa lebih enak dibanding saat itu! Ketika perut
keroncongan karena lelah berenang, kerongkongan asin setelah beberapa
kali menelan air laut, dan volume sinar mentari diatur hingga ke tingkat
rock n’ roll. Lapar!
Puas ber-snorkeling ria, kami mampir sebentar di pulau kecil. Berfoto dan merebahkan diri di hamparan pasir yang bersih.
Tujuan selanjutnya adalah... Jembatan Cinta!
Ya, Jembatan Cinta. Itu adalah jembatan yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil di sebelah Timur.
Sore
hari jembatan itu penuh sesak dengan turis. Sebagian memang asyik
dengan pasangannya. Berpegangan tangan, tertawa, berjalan perlahan
menyusuri jembatan sembari menikmati pantulan mentari sore di permukaan
laut yang menyala seperti hamparan berlian.
Sebagian
lagi ramai antri untuk lompat ke air dibawahnya, dari ketinggian
sekitar 5 meter. Saya, Kumbang, dan Tombol termasuk diantaranya. Saya
sih lompat jelas bukan karena alasan cinta. Tapi kedua teman saya itu,
hanya Tuhan yang tahu motivasi mereka, hahaha!
Pemandu
snorkeling kami, yang asli kelahiran Pulau Tidung, bercerita bahwa
kehadiran jembatan itulah yang memicu keramaian turis disana. Sejak
jembatan itu membentang, ribuan turis dari Jakarta datang berkunjung
setiap akhir pekannya. Jembatan Cinta sendiri adalah nama pemberian dari
Pepi si mantan asisten Tukul.
Kiranya
memang pantas jembatan itu dinamai demikian. Kehadirannya membawa
berkah bagi para penduduk pulau. Membawa cinta dari Jakarta. Memberi
kehidupan bagi masyarakat pulau yang selama ini terlupakan.
Malam menjelang dan botol pun dibuka...
Seteguk
Jack Daniels membasahi kerongkongan yang mendadak kering setelah
mengayuh sepeda menyusuri jalan kecil sepanjang pulau, dari homestay
hingga ke Jembatan Cinta. Rupanya malam hari pun lokasi ini ramai.
Fotografer, gerombolan narsis, dan pemancing malam menjadi
pengunjungnya.
Tak
berapa lama disana, kami kembali mengayuh sepeda ke ujung pulau yang
berlawanan, untuk meghadiri acara barbeque yang diadakan di Taman. Dan
sungguh mengejutkan! Ketika kami tiba disana, ratusan orang sudah duduk
di pasir, dalam kelompok-kelompok kecil, menikmati seafood bakar dan es
kelapa muda.
Amboi!
Kiranya orang Jakarta harus sering berkunjung kesini, agar lepas dari
tekanan hidup yang tak perlu. Agar bisa santai dan menikmati umur yang
hanya sebentar.
Omong-omong,
efek mengayuh sepeda bolak-balik dari satu ujung pulau ke ujung lainnya
itu baru kami rasakan esok hari ketika bangun pagi. Pantat serasa habis
diseruduk banteng, gan!
Minggu
pagi, dengan segala kelelahan yang mendera, sebagian masih nekat
kembali ke Jembatan Cinta untuk melihat matahari terbit dan bermain
banana boat. Saya, dengan segala keyakinan yang ada, memilih tetap dalam
keadaan limbo saja di homestay. Toh, matahari terbit setiap hari!
Majid,
pemandu lokal yang mengatur perjalan kali ini, kemudian membawa kami
semua mengunjungi lokasi pengembangan wisata di ujung Barat Pulau
Tidung.
Bukan
perjalanan yang menyenangkan. Dengan paha pegal, kami terpaksa menempuh
jarak lebih dari satu kilometer melalui perkampungan, komplek
perkantoran pemerintah, dan gedung sekolah dengan berjalan kaki. Tentu
saja dibawah siraman cahaya matahari yang seolah mengajak berkelahi!
Namun
lokasi pengembangan itu ternyata sepadan dengan jerih payah kami.
Sebuah pantai berpasir yang terpencil, lengkap dengan kejernihan air
dangkal yang menghampar puluhan meter ke tengah laut. Lokasi indah yang
sangat menjanjikan.
Saya
dapat membayangkan, setahun dari sekarang di lokasi itu berdiri sebuah
cafe kecil yang menghadap ke laut, menyajikan pemandangan sunset yang
romantis dan satu dua menu minuman beralkohol ringan pengantar tawa.
Wah, sungguh akan menjadi tujuan favorit dalam perjalanan ke Pulau Tidung, selain menu snorkeling yang memabukkan!
Setengah
tiga sore dan kami bertolak pulang ke Jakarta. Ya, benar, masih
menggunakan kapal yang sama! Kapal kecil yang terbukti tidak dirancang
untuk kami naiki menembus gelombang petang yang menggemparkan.
Tiga
setengah jam perjalanan pulang itu menjadi yang terberat dari
petualangan kami. Kapal oleng ke kiri, oleng ke kanan, mengirim rasa
mual ke perut. Kepala berdenyut pusing dan hati menciut, mengingat
berita kematian anggota DPR di Bunaken tempo hari, yang tenggelam karena
kapalnya pecah terhantam ombak sore.
Tapi kami bukan anggota DPR. Nasib kami jauh lebih mujur dibanding mereka.
Nahkoda
nekat berkulit gelap itu sukses mengantar kami kembali dengan selamat,
merapat ke Muara Angke ketika hari beranjak gelap. Kembali ke bau
amisnya Jakarta. Kembali kedalam limbo Metropolutan yang tak pernah
usai...
Catatan: Foto karya Sony Alonso dan Melissa Ika Sandra
Sumber : awesomenesia