Terumbu Karang Perairan Pulau Pramuka
Bagi warga ibukota Jakarta terutama yang gemar berwisata di laut, nama Kepulauan Seribu tentu sudah tidak asing lagi. Kepulauan yang berada di utara Jakarta ini adalah kawasan pelestarian bahari yang telah ditetapkan sebagai taman nasional laut sejak 1982. Salah satu pulaunya yang berpenghuni dan bernama Pulau Pramuka adalah pusat administrasi dan pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, bagian dari Provinsi DKI Jakarta. Di kawasan perairan Pulau Pramuka inilah banyak penyelam ibukota dilahirkan. Dan saat akhir pekan di awal Desember tahun ini, saya berkesempatan untuk melakukan penyelaman di perairan Pulau Pramuka tersebut untuk melihat sedikit keindahan bawah lautnya bersama teman-teman XL Adventure, Indonesian Geographic, dan juga dari Under Water Story.

Setelah menyusuri kemacetan dan hiruk pikuk Pasar Ikan Muara Angke yang ramai dan diakibatkan juga oleh perbaikan jalan dan bangunannya, akhirnya saya sampai juga di dermaganya. Dermaga yang merupakan pelabuhan rakyat untuk menuju pulau-pulau di Kepulauan Seribu ini masih terlihat seperti dulu waktu pertama kali saya ke tempat ini pada tahun 2007, dengan lorong masuknya yang gelap dan becek serta bau ikan di mana-mana. Orang-orang tampak hilir mudik, dari wisatawan yang akan menghabiskan akhir pekan, calo kapal, para abk, tukang becak, maupun kuli-kuli angkut.

Matahari belumlah tinggi dan jam tangan saya juga belum menunjukan pukul tujuh, waktu biasanya kapal-kapal yang mengangkut penumpang mulai berangkat di pagi hari. Saya bersama beberapa teman seperjalanan masih berdiri di depan pintu masuk pertamina di dekat dermaga, menunggu beberapa teman yang belum datang dan mengkordinasikan sedikit rencana kegiatan.

Akhirnya menjelang jam delapan pagi, waktu yang sebenarnya telah terlambat, kapal yang mengangkut kami semua mulai bergerak menyusuri hitam pekat Teluk Jakarta di sela-sela kapal lain yang bersandar. Gelombang laut pada pagi ini sepertinya kurang bersahabat. Beberapa kali kapal berguncang-guncang menerjang gelombang mengocok isi perut. Pun ketika gelombang besar, nahkoda sengaja menghentikan laju kapal untuk menghindari benturan yang keras. Kata salah seorang kru kapal, baru mulai hari ini cuaca tidak bersahabat. Dan ini adalah musim angin barat laut yang biasanya melanda perairan di Laut Jawa sampai bulan Januari dan Februari.

Mengabadikan Terumbu Karang di Perairan Pulau Pramuka

Menjelang tengah hari, barulah kapal yang kami tumpangi merapat di Dermaga Pulau Pramuka. Seperti yang ditunjukkan oleh Priska -sang kordinator perjalanan-, kami pun menyusuri jalan dengan sisa-sisa perasaan bergoyangnya kapal menuju penginapan yang akan kami tempati di pulau yang dahulu dinamai sebagai Pulau Elang ini. Sebagai catatan, dahulu pulau ini banyak dihuni oleh burung elang bondol sehingga disebut sebagai Pulau Elang. Setelah pulau ini mulai ramai dan sering dijadikan tempat berkegiatan para pramuka, maka bergantilah namanya menjadi Pulau Pramuka.

Ada banyak fasilitas wisata di pulau ini dibandingkan pulau-pulau lainnya. Dari penginapan sampai dive-dive operator yang diakui. Salah satunya adalah dive center Elang Ekowisata yang kami gunakan jasanya untuk melakukan kegiatan penyelaman. Usai makan siang dan mempersiapkan berbagai peralatan pendukung, kami semua mulai menuju titik penyelaman pertama ditemani Boby, salah seorang dive master dari Elang dan juga warga asli Pulau Pramuka.

Terumbu Karang Perairan Pulau Pramuka dan Kipas Laut

Titik penyelaman pertama kami berada di sebelah selatan Pulau Panggang atau di sebelah barat daya Pulau Pramuka. Tempat penyelaman ini berupa perairan dangkal yang dipenuhi oleh terumbu karang dengan satu tiang mercusuar kecil berdiri. Eko, seorang teman baru dari Bandung menjadi buddy saya dalam penyelaman ini, posisi menyelam berada satu baris di belakang dive master Boby. Sementara yang lainnya berturut-turut berpasangan di belakang saya dan Eko, seperti yang dibriefing oleh Priska yang juga telah berlabel master dalam dunia selam. Kami akan menyelam dengan menyusuri terumbu karang yang berada di sebelah kanan jalur. Sementara dua teman kami yang lain yang belum bersertifikasi selam hanya melakukan snorkling sambil menunggu yang lainnya menyelam.

Masker, fin, pemberat, BCD, dan tabung udara telah terpasang dengan baik. Kami menceburkan diri ke dalam laut satu per satu. Kedalaman penyelaman kali ini adalah 10 – 15 meter di bawah permukaan. Visibilitas atau jarak pandang cukup jernih, mungkin sekitar 5 – 8 meter. BCD saya yang kebesaran membuat saya kurang nyaman karena seringkali tabung di punggung melorot ke atas menanduk-nanduk kepala saya ketika melakukan pergerakan.

Area penyelaman berupa lereng yang tidak terlalu terjal dengan gugusan terumbu karang yang cukup rapat di kedalaman kurang dari 10 meter, sedangkan lebih dalam dari 10 meter kerapatan terumbu malah semakin berkurang. Sementara kehidupan laut yang saya temui bisa dibilang cukup banyak bagi saya yang belum pernah menyelam di perairan ini dan memiliki jam terbang sedikit. Ada gerombolan ikan karang yang kemudian saya ketahui bernama fusiliers, gobies yang terlihat tersamar pada permukaan pasir yang coklat dan menghamburkan pasir ketika saya dekati, beberapa nudibranch berwarna-warni, dan spesies-spesies lain yang entah apa lagi namanya. Kipas-kipas laut kemerahan besar juga banyak saya temui tumbuh di sela-sela terumbu karang.

Boby yang berada di depan selalu memanggil saya dan menunjuk-nunjuk tiap kali ada mahluk aneh yang ditemui. Ketika hendak bergerak saat mengamati kipas laut, fin Boby tersangkut di sana. Mungkin karena takut merusak kipas laut tersebut, ia meminta saya dan Eko untuk membantu melepaskan fin tersebut. Dan fin Boby pun terlepas. Sebelumnya saya pikir kipas laut tersebut akan patah ketika melihatnya tertarik cukup keras oleh fin Boby, tetapi ternyata kipas laut itu cukup kuat dan elastis.

Saya, Eko, dan Boby berhenti cukup lama di satu titik untuk menunggu teman-teman saya yang lain di belakang. Tapi sekian lama menunggu mereka tak muncul-muncul juga. Saya pikir mereka semua tentu sedang asyik memotret karena hampir sebagian besar yang posisinya di belakang saya membawa kamera bawah laut. Akhirnya kami bertiga memutuskan untuk melanjutkan penyusuran sampai penunjuk ketersediaan udara kami mulai menipis. Setelah hampir satu jam, kami mulai mengayuh perlahan-lahan ke arah permukaan dengan melakukan safety stop di kedalaman tiga meter selama lima menit.

Ada satu kejadian pada penyelaman ini yang mebuat saya sedikit cemas dan perlu selalu saya ingat untuk dijadikan pelajaran berharga. Yaitu ketika pertama kali turun untuk menyelam, di kedalaman sekitar sembilan meter saya merasa BCD saya terlalu kempis sehingga saya merasa belum mendapatkan netral bouyancy atau keseimbangan yang pas. Kemudian saya memainkan tombol pemicu untuk mengisi sedikit udara pada BCD saya. Sayang sungguh disayang, pengisian udara saya ternyata berlebih sehingga saya meluncur lagi ke atas permukaan air dengan cepat. Ketika meluncur ke atas, saya pun berusaha mengurangi udara pada BCD. Entah saat itu tombol pemicu pengurangan udara yang lambat bekerja atau respon saya yang kurang cepat, saya pun akhirnya muncul lagi di permukaan.

Kecepatan naik ke permukaan yang salah dalam penyelaman bisa berakibat fatal. Kecepatan naik yang dibolehkan adalah maksimal 10 meter per menit. Jika melebihi itu, maka volume nitrogen yang kita hirup dan telah larut di dalam darah akan membesar secara drastis sebelum sempat dikeluarkan dari tubuh seiring kecepatan naik kita yang tinggi. Bisa dibayangkan jika di dalam pembuluh darah kita terdapat gelembung-gelembung nitrogen yang membesar dengan cepat, akibatnya adalah pembuluh darah pecah yang bisa menyebabkan kelumpuhan, bahkan kematian. Inilah yang disebut sebagai bahaya penyakit dekompresi atau yang lebih sering disebut decompression sickness.

Setelah berpikir dengan tenang dan merasa diri tidak ada masalah setelah kejadian tersebut, saya memutuskan kembali menyusul ke dalam mengikuti gelembung-gelembung udara yang muncul di permukaan air pertanda teman-teman saya ada di bawahnya.

Penyu Hijau yang Melintas

Menjelang sore kami semua beristirahat untuk melakukan surface interval di Pulau Semak Daun, sebuah pulau kecil yang dimiliki secara pribadi oleh seorang petinggi salah satu partai besar di negeri ini. Pulau Semak Daun terletak sekitar lima kilometer di sebelah barat laut Pulau Pramuka. Ada beberapa rombongan wisatawan yang saya temui sedang berisitirahat di pulau tak berpenduduk ini. Sebuah warung kecil yang didirikan oleh penjaga pulau berdiri di tengah membuat lokasi ini memang cocok dijadikan tempat istirahat ketika berkeliling di kawasan Kepulaun Seribu. Ibu Saun bersama suami dan tiga anaknya yang memiliki warung tersebut mengatakan bahwa ia adalah warga Pulau Kelapa, pulau berpenduduk yang terletak lebih ke utara lagi. Mie instan, makanan kecil, kopi dan teh, serta buah kelapa menjadi barang dagangan Bu Saun di warungnya, memang menu yang cocok untuk sekedar berisitirahat beberapa jam.

Kurang lebih satu jam kami melakukan istirahat surface interval, kami beranjak lagi untuk menuju titik penyelaman berikutnya. Kali ini berada di sebelah barat laut Pulau Panggang dan Pulau Karya. Pulau Panggang dan Pulau Karya sendiri adalah pulau tetangga dari Pulau Pramuka yang keduanya terletak di sebelah baratnya. Kondisi perairannya sama seperti tempat penyelaman kami sebelumnya, berupa perairan dangkal dengan lereng-lereng terumbu karang yang tidak begitu terjal. Pembagian buddy kami masih seperti sebelumnya dimana saya berpasangan dengan Eko. Hanya saja pada penyelaman ini beberapa teman lain masih terlihat di belakang kami.

Kehidupan bawah laut yang saya lihat tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Saya pikir ini disebabkan karena jarak lokasi penyelaman pertama saya dan yang kedua sekarang tidak terlalu jauh. Yang membedakan adalah saya melihat penyu hijau yang berenang menjelajah sendirian. Sangat menyenangkan sekali melihat dan berenang beberapa saat bersamanya. Bagi saya, di dalam laut seperti ini penyu adalah hewan yang paling membuat berdecak kagum dibandingkan ikan-ikan lainnya. Seperti berjalan-jalan dengan kucing atau anjing peliharaan saja kalau di darat.

Hal yang menyedihkan di perairan ini -termasuk titik penyelaman saya sebelumnya- adalah saya melihat ada beberapa terumbu karang yang rusak serta sampah plastik dan kaleng yang tersangkut di beberapa karang. Pemandangan menjadi ternoda ketika melihat hamparan warna-warni terumbu karang terdapat lembaran plastik usang panjang berwarna coklat kotor menyempil dan berkibar. Tapi memang begitulah, sedikit gambaran tentang kedisiplinan sebagian besar masyarakat kita akan kesadaran menjaga lingkungan dan membuang sampah pada tempatnya.

Kurang lebih empat puluh menit di bawah permukaan air dan seiring jumlah udara dalam tabung yang makin sedikit, saya pun menyudahi penyelaman. Setelah menunggu rekan-rekan lain selama beberapa menit, satu per satu semuanya muncul di permukaan. Ternyata jarak kami satu sama lain terpaut jauh, pantas saja di bawah air kami hanya bertemu di waktu-waktu awal penyelaman.

Mengabadikan Terumbu Karang di Perairan Pulau Pramuka

Sebelum kembali ke Pulau Pramuka, kapal motor mengantarkan kami ke keramba ikan tempat budidaya ikan bandeng milik Nusa Ayu Keramba yang dilengkapi dengan sebuah resto ikan laut serta tempat-tempat penangkaran ikan. Boby menyebut keramba ikan ini sebagai Pulau Nusa Keramba, tempat budidaya ikan bandeng. Selain bandeng, yang menonjol di keramba ini adalah ditangkarkannya ikan hiu. Usai dari keramba, barulah kami beranjak ke Pulau Pramuka ketika gelap sudah mulai turun. Nanti, beberapa dari kami berencana akan melakukan penyelaman di malam hari sehingga beberapa peralatan masih ditinggalkan di dalam kapal.

Tetapi, usai makan malam di keramba, semua rekan seperjalanan ini mulai dihinggapi lelah dan keinginan untuk segera beristirahat. Apalagi kondisi tubuh yang sudah hangat menyebabkan keengganan untuk menceburkan diri lagi ke dalam laut. Otomatis penyelaman di malam hari dibatalkan. Memang perlu diakui bahwa kegiatan yang dilakukan di dalam air ini membuat efek pada tubuh yang luar biasa. Makan menjadi tambah banyak, tidur pun menjadi lebih cepat dan bertambah nyenyak. Akhirnya sesampainya di penginapan, sebagian besar dari kami langsung terlelap setelah membersihkan diri dari asinnya air laut.

Seorang Penyelam Menyalakan Lampu Sorot di Belakang

Hari berikutnya, kami semua pulang kembali ke Kota Jakarta. Walaupun penyelaman yang kami lakukan hanya dua kali, tapi cukup bagi saya menambah pengalaman di dunia bawah laut. Kawasan Pulau Pramuka hanyalah salah satu dari sekian banyak titik penyelaman yang ada di kepulauan Seribu. Suatu hari nanti saya berharap masih diberikan kesempatan lagi untuk melihat alam bawah lautnya di titik-titik yang lain, titik-titik kawasan yang memperlihatkan kepada kita betapa indahnya alam Indonesia. Bahwa semua itu menambah pengetahuan kita akan luasnya perairan nusantara beserta aneka ragam isinya yang patut selalu kita jaga.

Tulisan oleh I Komang Gde Subagia
Foto oleh Chusen Aun

Sumber : astacala.org 

 

Text Widget

Popular Posts

Recent Posts

Sample Text

Unordered List

Pulau Seribu