Pulau Kelor Terlihat dari Kejauhan
Di tepi barat Teluk Jakarta, ada pulau-pulau bagian dari Kepulauan Seribu yang menyimpan nilai-nilai sejarah dan arkeologi yang berkaitan dengan masa awal penjajahan bangsa-bangsa Eropa, pendudukan Jepang, sampai dengan masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Tersebutlah Pulau Kelor, Pulau Cipir, Pulau Onrust, dan Pulau Bidadari yang tergabung ke dalam satu kawasan Taman Arkeologi Onrust (TAO), sebuah kawasan cagar budaya yang dikelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Jika kita pernah berwisata ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu, maka saat perjalanan awal kita akan melihat pulau-pulau tersebut yang bercirikan adanya benteng maupun reruntuhan bangunan-bangunan tua.


Peta Taman Arkeologi Onrust (Sumber : Google Maps)

Berangkat dari Muara Kamal
Pagi itu, saya telah berada di Pelabuhan Muara Kamal, Penjaringan, Jakarta Utara untuk memulai perjalanan menuju Taman Arkeologi Onrust. Pelabuhan Muara Kamal adalah pelabuhan dengan jarak terdekat yang bisa digunakan untuk menuju pulau-pulau bersejarah ini selain dua pelabuhan lainnya di Teluk Jakarta, Pelabuhan Muara Angke dan Pelabuhan Marina Ancol.

Pelabuhan Muara Kamal
Pelabuhan Muara Kamal ini memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda dengan Pelabuhan Muara Angke, yaitu pelabuhan rakyat dengan adanya pasar dan tempat pelelangan ikan. Sebagian besar jalan di tempat pelelangan ikan yang menuju pelabuhan tergenang air laut. Bau amis ikan tentu saja tak bisa ditolak. Pedagang ikan dan buruh-buruh angkut hilir mudik di ujung jalan menuju Rumah Pak Haji Pare, tempat pertemuan saya dengan rekan-rekan perjalanan dari Komunitas Historia Indonesia. Perahu-perahu nelayan bersandar di tepian muara Kali Angke, kali yang airnya kehitaman yang berakhir di pelabuhan ini. Di tepian kali, jembatan-jembatan bambu yang terlihat rapuh menghubungkan perahu-perahu nelayan dengan daratan. Sementara satu dua pohon bakau menyembul di seberang sisi lain lengkap dengan pemandangan beberapa ekor burung bangau yang mengais-ngais mencari makanan di sampah-sampah yang terapung.
Menuju Pulau Kelor
Pulau pertama yang menjadi tujuan kami adalah Pulau Kelor, pulau kecil yang sesuai namanya diibaratkan selebar daun kelor. Perairan di Teluk Jakarta pagi itu tenang. Air laut masih kehitaman walaupun perlahan-lahan mulai menjernih ketika perahu makin melaju menjauhi pantai. Perahu nelayan yang membawa saya menuju Pulau Kelor ini ukurannya cukup besar dan dapat menampung penumpang sampai 30 orang, tetapi pergerakannya sangat lambat. Bagang-bagang ikan bertebaran di mana-mana, seperti pepohonan mati yang meranggas tumbuh dari dalam laut. Sebuah sampah plastik sempat tersangkut di baling-baling perahu yang saya tumpangi, pertanda sampah-sampah masih banyak bertebaran di perairan Teluk Jakarta ini. Kurang lebih 30 menit kemudian, perahu pun menepi di pantai berpasir putih Pulau Kelor.

Benteng Martello di Pulau Kelor
Pulau Kelor yang sebenarnya dulu dinamai sebagai Pulau Kherkof ini adalah pulau yang paling memiliki ciri khas dibandingkan pulau-pulau di sekitarnya. Sebuah benteng yang tersusun dari batu bata merah berdiri gagah di pulau tersebut, tegak menantang menghadap laut ke semua sisi. Beberapa beton pemecah ombak untuk menahan abrasi terlihat terpancang di tepian pulau ini. Pepohonan, semak-semak, dan rumput-rumput liar mendominasi sisi selatan pulau yang saat ini luasnya tak lebih dari satu hektar.
Pulau Kelor juga merupakan sebuah pulau kuburan. Banyak tahanan politik di masa kolonial Belanda yang dihukum mati di penjara Pulau Cipir dan Pulau Onrust dikuburkan di Pulau Kelor ini. Begitu juga dengan tawanan-tawanan yang sakit dan meninggal, sebagian besar dikuburkan di pulau kecil ini. Seekor kucing saya lihat menjadi penghuni tetap pulau. Sepertinya kucing ini dibawa oleh seorang pengunjung pulau dan bisa bertahan hidup dari sisa-sisa ikan para pemancing yang singgah.

Reruntuhan Benteng Martello dan Beton-beton Pemecah Ombak
Benteng di Pulau Kelor adalah benteng Martello, yaitu sebuah benteng berbentuk lingkaran yang dibangun untuk tujuan pertahanan militer. Disusun beberapa lapis dan terdiri dari beberapa ruangan dengan fungsinya masing-masing. Di salah satu tingkatnya merupakan tempat meriam yang bisa berputar 360 derajat untuk menembak kapal-kapal musuh. Benteng ini dibangun dari bata merah yang kuat dan konon sangat kokoh untuk menahan tembakan meriam dari luar.
Saat ini, benteng Martello di Pulau Kelor hanya tersisa lapisan dalamnya saja. Benteng aslinya sebenarnya berdiri lebih lebar lagi. Beberapa puing pondasi lapisan luar dari benteng ini terlihat  teronggok dan telah terendam air laut di tepi pantai. Benteng ini hancur disebabkan oleh tsunami Gunung Krakatau di abad ke-19 dan peperangan-peperangan yang pernah terjadi di perairan Teluk Jakarta. Selain itu abrasi yang makin hari makin mengancam juga menjadi musuh utama yang sangat berbahaya untuk memusnahkan pulau bersejarah ini. Di lain pihak, kurangnya perhatian pemerintah akan warisan arkelogi dan rendahnya kesadaran pengunjung juga menjadi senjata bunuh diri yang handal.

Dari Dalam Benteng Martello
Jika kita berjalan berkeliling melihat isi benteng dan pulau ini, lihat saja keadaannya : sangat menyedihkan. Kondisinya tidak terawat, beberapa batu batanya sengaja dibongkar untuk membuat tungku perapian bagi para pemancing yang bermalam, paku-paku dan kayu-kayu kecil tertancap di dinding-dindingnya sebagai tempat menggantungkan kantong-kantong plastik dan pakaian, sampah-sampah dan coretan di mana-mana. Saya jadi membandingkan benteng ini dengan benteng atau kastil di Tanah Inggris yang pernah saya lihat di film-film, sungguh jauh berbeda.
Pulau Berikutnya, Pulau Cipir
Dari Pulau Kelor, kami beranjak menuju Pulau Cipir atau Pulau Kuijper. Pulau ini disebut juga sebagai Pulau Kahyangan. Berbicara tentang Pulau Cipir, kita tidak bisa melepaskannya dari Pulau Onrust. Letak kedua pulau ini berdekatan, dan Pulau Cipir merupakan pulau penyangga dari Pulau Onrust yang berfungsi sebagai pulau utama.

Pulau Cipir, Tampak Reruntuhan Bangunan Bekas Rumah Sakit
Di masa-masa awal, antara abad ke-17 sampai abad ke-19, Pulau Cipir difungsikan sebagai gudang-gudang penyimpanan barang yang dihasilkan dan diproses di Pulau Onrust. Bangunan-bangunan di Pulau Cipir ini pernah mengalami kehancuran beberapa kali. Kehancuran itu disebabkan oleh adanya pertempuran ketika Inggris merebut Batavia dari tangan Belanda-Perancis (baca : Jejak Perang Napoleon) di tahun 1811, gelombang tsunami karena letusan Gunung Krakatau di tahun 1883, serta penyerbuan Jepang di tahun 1942.
Beberapa tahun pulau ini sempat terbengkalai semenjak serbuan Inggris dan tsunami Krakatau sampai Belanda mulai memfungsikannya kembali. Sebuah stasiun pengamat cuaca dibangun untuk mendukung jalannya roda kolonialisasi. Kemudian Pulau Cipir ini (bersama Pulau Onrust) juga dijadikan sebagai rumah sakit dan tempat karantina haji pada selang waktu tahun 1911 – 1933. Reruntuhan bangunan rumah sakit inilah yang mendominasi isi dari pulau Cipir ini.

Berkeliling di Pulau Cipir
Ketika saya berkeliling di pulau ini, beberapa benda peninggalan sejarahnya masih terlihat jelas. Sebuah meriam peninggalan Belanda dari masa 1800 – 1810 saya jumpai teronggok dan berkarat. Begitu juga sebuah sumur artesis asebagai sumber air tawar di pulau ini tampak masih berfungsi walaupun kondisinya seperti kakus tak terawat.
Pulau Onrust, Pulau Tanpa Istirahat
Menjelang siang, kami beranjak meninggalkan Pulau Cipir menuju Pulau Onrust, pulau yang berarti pulau tanpa istirahat (berasal dari kata un dan rest). Jarak dari Pulau Cipir ke Pulau Onrust sebenarnya tidak terlalu jauh. Malah, masih ada sisa timbunan beton memanjang yang menghubungkan kedua pulau ini membentuk sebuah jembatan sampai di selatnya yang terdalam.  Untuk kemudian di selat yang dalam tersebut -yang lebarnya sekitar belasan meter- dulu dihubungkan oleh jembatan ponton, jembatan terapung yang terbuat dari kayu-kayu yang disusun di atas drum.

Pulau Onrust Dilihat dari Pulau Cipir, Terlihat Bekas Jembatan Penghubung yang Menghubungkan Kedua Pulau Ini di Kejauhan
Hanya beberapa menit yang kami butuhkan untuk menyeberang dari Pulau Cipir ke Pulau Onrust. Di pulau inilah terdapat sebuah pos pariwisata yang bisa kita dapatkan brosur-brosur tentang Taman Arkeologi Onrust. Sebelum dikuasai oleh Belanda dan menjadi pulau tanpa istirahat, pulau ini adalah pulau tempat peristirahatan raja-raja Banten. Pulaunya yang sejuk dan banyak pepohonan rindang membuat para petinggi Kerajaan Banten menyukainya.
Setelah dikuasai oleh Belanda, mulailah pulau ini menjadi pulau tanpa istirahat. VOC sebagai perusahaan dagang Belanda menjadikan pulau ini sebagai tempat galangan kapal yang ditunjang dengan berbagai infrastruktur yang dibangun dari waktu ke waktu seperti dermaga, benteng, gudang mesiu, pabrik penggergajian kayu, dan lain-lain. Segala aktivitas bongkar muat barang dan galangan kapal terjadi tanpa henti di pulau ini.
Seperti pulau-pulau bernilai arkeologis lainnya di Teluk Jakarta, peninggalan-peninggalan di Pulau Onrust ini juga tidak terawat. Kurangnya penghargaan dari kita terhadap peninggalan sejarah melengkapi kehancurannya yang disebabkan oleh tsunami Gunung Krakatau (1883) dan peperangan di masa penyerbuan Inggris (1811) maupun pendudukan Jepang (1942). Selain itu abrasi pantai juga menjadi ancaman yang besar bagi pulau kecil ini yang ketinggiannya tidak lebih dari 5 mdpl.

Makam Para Korban Pemberontakan Kapal Zeven Provincien

Makam Orang-orang Belanda
Berkeliling di pulau ini, kembali saya melihat sisa-sisa bangunan rumah sakit dan tempat karantina haji, melihat makam Kartosuwiryo sang pemimpin pemberontakan DI/TII, makam-makam para korban pemberontakan Kapal Zeven Provincien (pemberontakan para pekerja kapal yang pernah terjadi di pulau ini), makam-makam orang Belanda yang terkena penyakit tropis, adanya sumur artesis air tawar, pondasi dari reruntuhan benteng Martello, serta beberapa meriam peninggalan Belanda.

Meriam Peninggalan Belanda
Di Pulau Onrust ini, secara mengejutkan saya bertemu dengan orang-orang dari Suku Dayak Hindu Budha Bumi Sagandu. Orang-orang yang memiliki salah satu kepercayaan lokal nusantara dan kearifan lokal tersendiri yang berasal dari Indramayu. Mereka tampak mencolok dengan celana hitam putih tanpa baju, rambut-rambut gondrong dengan kalung dan gelang sebagai hiasan tubuh. Mereka sedang mencari batu-batu manik di pulau ini. Saya sempat berbicara dengan salah seorang tetuanya tentang kehidupan mereka. Walaupun ada kosakata agama di nama sukunya, mereka bukanlah penganut agama mana pun yang diakui di Indonesia. Dengan tenang ia berbicara tentang konsep alam semesta dan manunggaling kawulo gusti, sedikit mengalihkan fokus saya dari penelusuran sejarah ke perenungan-perenungan spiritual.
Asal Mula Gelar Haji
Saya memang tidak pernah mendengar nama orang dengan gelar haji selain di Indonesia. Asep Kambali, ketua Komunitas Historia Indonesia mengatakan bahwa hanya di Indonesia gelar haji itu digunakan oleh mereka yang telah menunaikan ibadah ke tanah suci Mekah. Bagaimana itu bisa terjadi? Pulau Onrust dan Pulau Cipir adalah salah satu kunci untuk mencari jawabannya. Lihat saja sisa-sisa reruntuhan di kedua pulau tersebut, sebagian besar adalah sisa-sisa tempat karantina haji.

Sisa Reruntuhan yang Merupakan Bekas Rumah Sakit Karantina Haji
Pulau Onrust dan Pulau Cipir digunakan sebagai tempat karantina haji dari tahun 1911 – 1933. Ide karantina haji yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda merupakan suatu sikap kekhawatiran yang tinggi terhadap meluasnya gerakan Pan-Islam yang lahir di Timur Tengah. Biasanya orang-orang yang pergi melaksanakan ibadah haji akan bertahan di Tanah Arab paling sedikit 3 bulan. Kesempatan itu digunakan untuk belajar agama kepada ulama-ulama terkemuka. Munculnya gerakan Wahabi dan ide Pan-Islam yang menentang penjajahan dari orang non Islam akan memberi dampak pada militansi mereka yang menunaikan ibadah haji.
Kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda itu ternyata berbuah nyata. Hampir semua pimpinan perlawanan adalah mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Untuk mengawasi kegiatan orang-orang yang melakukan ibadah haji, dibuatlah kegiatan karantina dengan alasan menjaga kesehatan. Pemerintah kolonial Belanda memberikan cap kepada mereka yang pulang dari Tanah Arab dengan kata atau gelar haji di depan nama orang tersebut, sebuah gelar untuk membedakan dan mengawasi mereka yang disinyalir telah terpengaruh oleh gerakan Wahabi atau Pan-Islam.
Catatan Tambahan : Pulau Bidadari dan Pulau Edam
Selepas istirahat makan siang di Pulau Onrust, rombongan perjalanan susur pulau-pulau bersejarah ini terbagi dua. Satu kembali pulang menuju Pelabuhan Muara Kamal, satu lagi melanjutkan perjalanan ke Pulau Bidadari. Saya dan beberapa rekan perjalanan memutuskan untuk tidak ikut serta ke Pulau Bidadari.

Pulau Bidadari
Pulau Bidadari merupakan salah satu pulau yang masuk ke dalam kawasan Taman Arkeologi Onrust. Pulau Bidadari adalah pulau pribadi yang ditujukan sebagai tempat wisata. Sehingga jangan heran kalau di pulau ini ada banyak vila dan fasilitas wisata. Di Pulau Bidadari juga akan ditemukan beberapa sisa peninggalan sejarah, salah satunya adalah reruntuhan benteng Martello.
Kemudian, jika kita melihat peta Kepulauan Seribu, lebih jauh ke timur di Teluk Jakarta, ada sebuah pulau bersejarah lagi yang dinamai Pulau Edam, atau biasa juga disebut sebagai Pulau Damar. Sebuah buku Mereka yang Dilumpuhkan karya maestro Pramoedya Ananta Toer menggambarkan kehidupan para tawanan Belanda di pulau ini pada masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Sebuah mercusuar peninggalan Belanda juga berdiri gagah menjadi daya tariknya. Tetapi pulau ini bukan bagian dari Taman Arkeologi Onrust. Dan sayang juga, kami tidak berkesempatan untuk mengunjunginya.
Prediksi di Masa Depan
Melihat kondisi kenyataan akan tempat-tempat bersejarah di Indonesia, kita akan tahu bahwa kita sangat jauh tertinggal dalam menghargai dan belajar dari masa lalu dibandingkan negara-negara lain yang dikenal. Namanya saja pulau-pulau di Taman Arkeologi Onrust ini dilindungi dan dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, tapi saya tak melihat perlindungan dan pengelolaan tersebut dengan lebih nyata selain adanya biaya tiket masuk dan brosur informasi seadanya.

Benda Cagar Budaya, Harus Dilindungi dan Dijaga
Siang yang bertambah terik dan gelombang laut yang mulai meninggi, perahu kami mulai melaju menuju Muara Kamal. Terlintas tentang berita-berita terkait meningginya permukaan air laut dari waktu ke waktu, pulau-pulau kecil termasuk di Kepulaun Seribu konon katanya bisa hilang dalam kurun waktu 40 tahun ke depan. Kita sebagai pewaris peninggalan sejarah bangsa, maka kita inilah yang wajib menyikapi hal-hal seperti itu, mau menjadi pesimis atau menjadikannya sebagai cambuk pelecut untuk bisa berbuat lebih baik lagi.

Tulisan dan Foto oleh I Komang Gde Subagia

Sumber : astacala.org 


Sepotong Keindahan Laut Pulau Pramuka
Perairan Pulau Pramuka lagi. Begitu pikir saya ketika ada ajakan untuk melakukan kegiatan menyelam di akhir pekan ini. Tanpa pikir panjang, saya mengiyakan ajakan tersebut. Alasannya adalah karena sudah sekian lama saya sudah tidak menyelam semenjak penyelaman saya yang terakhir yang juga di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (baca : Sepotong Keindahan Laut Pulau Pramuka 1), beberapa bulan silam. Selain itu, adanya rencana akan mengunjungi sebuah spot kapal karam membuat saya bertambah semangat.

Seperti biasanya, pagi itu, pelabuhan rakyat di Muara Angke begitu ramai. Perbaikan bangunan pasar masih berlangsung dan bau amis ikan tak pernah berubah. Di jalanan yang becek serta lorong sempit, berlalu lalang para abk dan kuli angkut serta para wisatawan yang akan berlibur akhir pekan di pulau-pulau Kepulauan Seribu, termasuk rombongan saya.

Dipayungi langit yang cerah, kapal yang mengangkut saya perlahan dan pasti mulai meninggalkan Teluk Jakarta yang airnya kehitaman. Saya lebih banyak tidur selama perjalanan menuju Pulau Pramuka dan sempat terbangun ketika berlabuh di dermaga Pulau Pari. Hanya di Pulau Pari kapal yang saya tumpangi ini sempat berlabuh untuk menurunkan penumpang. Tumben, biasanya kapal yang menuju Pulau Pramuka biasanya hanya singgah di Pulau Untung Jawa saja.

Menjelang tengah hari, barulah kapal yang saya tumpangi tiba di dermaga Pulau Pramuka. Rombongan saya cukup banyak, terdiri dari beberapa orang dewasa yang akan melakukan kegiatan menyelam serta beberapa anak kecil dan para orang tua yang akan berwisata island hopping dan snorkling. Beberapa rombongan wisatawan lain juga tampak turun di dermaga ini. Sementara di salah satu ujung tepian dermaga, tampak rombongan penyelam yang sedang berdiskusi dan menyiapkan peralatan, sepertinya rombongan yang sedang mengambil sertifikasi selam. Memang, Pulau Pramuka dan perairan di sekitarnya ini adalah tempat terdekat dari Jakarta yang seringkali digunakan sebagai tempat berlatih selam bagi mereka yang tinggal di ibukota.

Dive Center Elang Ekowisata di Pulau Pramuka kembali kami gunakan jasanya dalam penyelaman ini, dari penyewaan peralatan sampai pengisian udara pada tabung. Usai makan siang, para penyelam dari rombongan saya pun mulai bergerak menuju ke perairan sebelah barat Pulau Pramuka, kurang lebih 3 kilometer di sebelah barat laut Pulau Karya.

Spot penyelaman pertama ini bernama Tanjung Penyu, karena di tempat inilah biasanya para penyelam sering bertemu dengan penyu, biasanya adalah penyu hijau. Saya mulai mempersiapkan peralatan. Kali ini saya lebih waspada untuk membedakan antara tombol inflate (mengisi udara) dan deflate (mengeluarkan udara) pada Buoyancy Compensator Device (BCD) yang saya gunakan. Saya tidak ingin terjadi kesalahan yang bisa mengacaukan bouyancy (faktor naik dan turun dalam air) ketika melakukan penyelaman di dalam air nantinya.

Doni, seorang rekan perjalanan, dan Bang Sarwo, pelatih saya, adalah yang menjadi buddy saya pada penyelaman kali ini. Kedalaman yang disepakati adalah 18 meter dengan arah penyelaman mengikuti arus selama maksimal 60 menit. Area penyelaman berupa lereng yang tidak terlalu terjal dengan gugusan terumbu karang yang cukup rapat. Beberapa penghuni laut berseliweran di sekitar saya. Kala itu jarak pandang untuk wilayah perairan Kepulauan Seribu mungkin sekitar 5 – 10 meter. Beberapa ganggang dan kipas laut yang besar tumbuh di sela-sela bebatuan. Sementara penyu hijau yang katanya sering ditemui di spot ini belum saya lihat sama sekali. Hanya beberapa menit sebelum naik ke permukaaan, barulah seekor penyu hijau melintas dan berenang pelan searah dengan saya.

Penyelaman kedua kami lakukan di spot Karang Sempit setelah melakukan surface interfal selama satu jam di Pulau Semak Daun, sebuah pulau kecil yang berada di sebelah barat daya Pulau Karya. Karang Sempit juga masih terletak di sebelah barat dan barat laut Pulau Karya. Sesuai namanya, spot ini memiliki terumbu karang yang rapat dan cenderung mendatar dengan banyaknya cerukan-cerukan sempit di kedalaman 15 meter. Kehidupan bawah air dan jarak pandang di spot ini juga tidak berbeda dengan spot sebelumnya. Clown fish, nudibranch, gerombolan angel fish, serta sekali dua kali berpapasan dengan lion fish di sela-sela karang. Setelah 45 menit di dalam air, kami pun naik kembali ke atas perahu untuk kembali ke Pulau Pramuka.

Seekor Penyu Hijau yang Dijumpai di Perairan Pulau Pramuka

Suasana malam di pantai barat Pulau Pramuka begitu ramai ketika kami menikmati santap malam. Beberapa wisatawan mancanegara tampak asyik berjoget di halaman sebuah penginapan, tak jauh dari penginapan tempat saya bermalam. Sementara dari organ tunggal di sebuah panggung mini yang ada di sana, mengalun sambung-menyambung musik dangdut dengan lagu-lagu yang saat ini sedang populer seperti iwa peyek dan cinta satu malam. Tiba-tiba saya ikut bangga juga bahwa musik dangdut yang cenderung terlihat sebagai hiburan masyarakat pinggiran ternyata disukai dan begitu dinikmati oleh wisatawan-wisatawan dari luar tersebut.

Gerombolan Ikan yang Berseliweran di Terumbu Karang

Pagi di hari kedua di Pulau Pramuka, kami mulai menyiapkan kembali peralatan selam dan menaikkannya ke dalam perahu. Briefing kami lakukan di atas perahu ketika perahu mulai melaju menuju spot berikutnya, Poso Wreck. Spot ini adalah spot penyelaman yang di dalamnya ada bangkai Kapal Poso dan terletak sekitar belasan kilometer di sebelah utara Pulau Pramuka. Tidak adanya pulau-pulau di sekitar Poso Wreck membuat spot ini berada di perairan yang lebih terbuka. Otomatis hal ini menyebabkan gelombang laut di permukaan lebih besar, sekitar 1 – 1,5 meter.

Hanya gugusan batu yang memanjang dangkal ke permukaan membuat deburan-deburan ombak pantai yang terlihat ketika perahu mulai mematikan mesinnya. Kami mencari-cari penanda lokasi entry point selama beberapa menit sampai lokasi tersebut ditemukan. Dan selama beberapa menit itu pula goyangan perahu membuat kepala saya pusing pertanda mabuk laut. Untuk perahu kecil yang berhenti, tentu saja permukaan laut seperti ini membuat goyangan di atas perahu makin menjadi-jadi. Untuk entry point menyelam dengan gelombang yang besar, penyelam biasanya memakai BCD dan beberapa peralatan lain di atas permukaan air, bukan di atas perahu.

Setelah berjuang memakai BCD dan weight belt dalam hantaman gelombang dan kepala pusing, akhirnya kami semua turun. Beberapa meter setelah turun di bawah permukaan air, perlahan-lahan gelombang yang menghantam-hantam mulai terasa menghilang. Sebuah tali tambang penanda dari lokasi entry point kami ikuti ke bawah menuju hamparan terumbu karang di kedalaman 15 meter. Dari kedalaman 15 meter tersebut, tambang membentang miring menjauh dari bebatuan dan terumbu karang, menuju ke bawah lebih dalam lagi. Kami mengikuti arah tambang tersebut. Terumbu karang mulai menghilang digantikan lereng pasir yang terjal. Perairan pun menjadi sedikit lebih gelap.

Jarak Pandang yang Pendek di Perairan Kepulauan Seribu

Setelah belasan meter berenang mengikuti tambang, samar-samar di ujung tambang mulai terlihat onggokan batu karang, itulah bangkai Kapal Poso. Kedalaman di titik tertinggi Kapal Poso ini tercatat 30 meter pada altimeter saya. Sedangkan dasar kapal atau titik terendahnya mungkin sekitar 10 – 15 meter lagi ke bawah. Ini adalah penyelaman terdalam saya sampai saat ini dari penyelaman-penyelaman yang pernah saya lakukan. Kami tidak menuju dasar kapal, hanya berenang mengelilingi lambung kapal melihat kehidupan yang ada di bangkai kapal ini. Jika dibandingkan dengan spot-spot lain di perairan Pulau Pramuka di kedalaman belasan meter, ikan-ikan di Poso Wreck ini ukurannya lebih besar. Ganggang laut dan beberapa kipas laut juga saya lihat tumbuh di sisi-sisi luar kapal.

Kami hanya sebentar di kedalaman 30an meter ini, mungkin kurang lebih 10 menit. Kami kembali berbalik menyusuri tali tambang. Di kedalaman 15 meter, tali mulai kami tinggalkan. Kami menyusuri lagi terumbu karang melihat-lihat keindahan bawah laut spot ini sambil perlahan-lahan mengurangi kedalaman. Mencapai kedalaman 5 meter, barulah kami melakukan safety stop selama 15 menit. Safety stop adalah berhenti di kedalaman tertentu untuk menetralisir kadar nitrogen di dalam tubuh, bagian dari udara yang tidak digunakan oleh tubuh. Semakin dalam kita menyelam, semakin besar kemungkinan kita keracunan nitrogen. Diperlukan perhitungan yang cermat dalam menentukan safety stop atau mengontrol kecepatan naik ke permukaan, begitu juga kecermatan dalam merencanakan kegiatan menyelam, semua itu adalah untuk mendapatkan kegiatan menyelam yang tetap aman.

Mulai Menyusuri Poso Wreck

Salah Satu Sisi Kapal di Poso Wreck

Di atas permukaan Poso Wreck ini, gelombang laut kembali menghantam. Melepaskan weight belt, BCD, dan fin merupakan perjuangan tersendiri. Akhirnya setelah semua kembali ke atas perahu, kami pun kembali menuju Pulau Pramuka. Dalam perjalanan, kawanan lumba-lumba terlihat ikut berenang beberapa meter di samping perahu kami. Cukup menakjubkan juga penyelaman di Poso Wreck ini bagi saya.

Charly, rekan saya yang beberapa minggu sebelumnya menyelam di Poso Wreck pernah melihat ikan hiu paus berukuran sekitar 7 meter di lokasi ini. Hiu paus atau whale shark merupakan spesies ikan terbesar yang biasa dijumpai di perairan tropis. Ia bisa mencapai panjang 13 meter dengan berat mencapai 21 ton. Di Indonesia, ikan ini seringkali ditemui di perairan Nabire, Irian Jaya. Walaupun sebagai hiu terbesar, hiu paus ini hanya memakan phytoplankton sehingga ia bukanlah bertipe pemangsa.

Karya Island Coral Reef

Penyelaman keempat kami lakukan setelah istirahat dan makan pagi. Penyelaman keempat ini bisa dibilang memiliki tingkat kesulitan paling rendah dari tiga penyelaman sebelumnya. Lokasinya berada beberapa ratus meter di sebelah timur laut Pulau Karya dan sering disebut sebagai spot Karya Island Reef. Karena penyelaman sebelumnya di Poso Wreck adalah penyelaman yang cukup dalam, maka kali ini penyelaman dilakukan maksimum selama 30 menit di kedalaman maksimum 10 meter. Beberapa beton yang disusun sedemikian rupa untuk tempat hidup karang ada di sekitar entry point spot ini. Kehidupan laut di dalamnya juga tak begitu berbeda. Ketika menyelesaikan penyelaman dan kembali ke permukaan, tanpa disangka, ternyata saya sudah berada di tepi dermaga Pulau Karya.

Clown Fish atau Nemo yang Biasa Dijumpai di Perairan Tropis

Akhirnya, lewat tengah hari setelah berkemas membereskan peralatan di Pulau Pramuka, kami pun mulai menaiki kapal untuk kembali menuju Jakarta. Penyelaman saya kali ini di perairan Pulau Pramuka ternyata cukup mengesankan.

Tulisan oleh I Komang Gde Subagia
Foto oleh Dwi Wahyu Lestariningsih


Sumber  : astacala





Pulau Pramuka adalah salah satu gugusan Kepulauan Seribu yang merupakan pusat pemerintahan kabupaten administrasi Kepulauan Seribu. Dengan menempuh jalur laut selama 2,5 jam dari Muara Angke dengan menggunakan kapal transportasi kita akan sampai di dermaga Pulau Pramuka. Kapal transportasi ini berangkat setiap harinya pukul 07:00 dan 13:00 baik dari Muara Angke atau Pulau Pramuka.

Pulau Pramuka sendiri merupakan pulau berpenduduk yang mulai berkembang menjadi daerah pariwisata beberapa tahun belakangan ini karena keindahan alam di sekitar pulau ini dan penduduk yang ramah. Jernihnya air laut yang biru, terumbu-terumbu karang yang indah dan pulau pasir putih di sekitar membuat setiap orang yang pernah pergi ke pulau ini ingin kembali lagi ke Pulau Pramuka.

Sebagai pusat pemerintahan Kepulauan Seribu, Pulau Pramuka memiliki fasilitas-fasilitas yang diperlukan warga atau wisatawan mulai dari tempat penginapan(homestay), rumah makan, rumah sakit, masjid, lapangan olahraga, dll.. Fasilitas yang ada terawat dengan baik sehingga akan memberikan kenyamanan pada wisatawan yang berkunjung ke pulau ini. Di dalam Pulau Pramuka sendiri terdapat sebuah penangkaran Penyu Sisik yang di kepalai oleh Bapak Salim. Penyu-penyu ini dikembangbiakan dan di rawat dalam satu area ini. Para wisatawan dapat menyentuh langsung penyu-penyu ini untuk mendapatkan wawasan mengenai penyu ini. Apabila penyu-penyu ini sudah cukup umurnya, maka mereka akan dilepaskan di tepi pantai.

Yang luar biasa dan membuat kita lebih nyaman di pulau ini adalah keramahan penduduk sekitar yang sering membantu, menyapa dan tersenyum kepada para wisatawan. Memang sudah menjadi kebiasaan penduduk sekitar untuk saling membantu sesama karena hubungan persaudaraan masih sangat dekat antara warga yang satu dan yang lain. Maka jangan heran apabila suatu hari Anda kembali lagi ke Pulau Pramuka penduduk pulau ini akan menyapa Anda walaupun Anda sudah lupa kepada mereka :)

Yang menjadi poin utama dari wisata Pulau Pramuka ini adalah gugusan terumbu karang yang tersebar di sekitar Pulau Pramuka. Dengan menggunakan baju pelampung, sepatu katak, masker dan snorkle kita akan bisa melihat keindahan terumbu karang berwarna-warni secara langsung dan ikan-ikan hias yang berenang di terumbu karang juga sangat indah. Pengalaman Anda snorkling di Pulau Pramuka akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan dalam hidup Anda.

Sumber : talaseta-feup 

 
Pulau Seribu merupakan sebutan dari kumpulan berbagai macam pulau, termasuk Pulau Pramuka. Kepulauan Seribu berada di utara Jakarta. Sebenarnya Kepulauan Seribu pun masih termasuk ke dalam Provinsi DKI Jakarta.

Pulau Pramuka merupakan pulau kecil yang sangat indah. Pulau ini penuh dengan pesona alam yang memukau. Waktu tempuh yang diperlukan untuk sampai di pulau ini kurang lebih 2,5jam dengan menggunakan kapal laut dari muara angke. Pulau kecil ini hanya terdiri dari dua kelurahan. Jadi, tidak heran bila dalam waktu beberapa jam saja kita dapat berkeliling ke semua bagiannya.

Pesona alam yang begitu indah di pulau ini tidak dapat ditutupi. Mulai dari airnya yang sangat jernih sehingga dapat melihat ikan-ikan kecil dan terumbu karang di bawahnya dengan jelas, sampai pada kehangatan dan keramahan penduduknya. Keindahan alam ini tidak akan bertahan lama tanpa dukungan dari masyarakatnya.
Masyarakat Pulau Pramuka terdiri dari beberapa suku, yaitu suku sunda, jawa dan bugis (Makasar). Namun jika diperhatikan, yang paling dominan di sini adalah suku bugis. Jika kita melihat secara sekilas, orang-orang di sana terkesan angkuh dan 'sangar'. Tetapi jika kita mencoba menyapa bahkan mengajaknya berbincang-bincang, kita akan mendapatkan nuansa yang berbeda. Mereka dapat menjadi lebih ramah dan lebih sopan dari diri kita sendiri.

Menurut beberapa sumber, dahulu awalnya pulau ini dihuni oleh 100% pemeluk agama islam. Tetapi kini sudah banyak agama-agama lain yang masuk. Walaupun tetap mayoritas adalah islam. Agama-agama lain masuk melalui berbagai jalur, salah satunya adalah perkawinan.

Penduduk Pulau Pramuka ini sebagian besar tidak hanya bekerja sebagai nelayan, tetapi juga sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Misalkan guru-guru dan pegawai pemerintahan. Hal ini disebabkan karena pusat pemerintahan Pulau Seribu berada di Pulau Pramuka. Selain itu pekerjaan-pekerjaan lain mereka adalah sebagai penyedia katering untuk para tamu yang datang dari jauh, sebagai pelayan/penyewaan wahana permainan air dan juga sebagai pedagang. Pengunjung yang menginap di Pulau ini selama beberapa hari tentu saja tidak membutuhkan pelayanan katering untuk makanannya. Mereka tidak mungkin membawa persediaan makanan instan untuk beberapa hari.

Pulau Pramuka memang pulau yangb indah, tetapi membuuhkan biaya hidup yang lebih mahal dibandingkan dengan di Jakarta kota. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan berbagai kebutuhan di pulau ini. Masyarakat pulau ini jarang atau hampir tidak ada yang bertani. Jadi untuk memenuhi kebutuhan sehari-harui mereka harus membelinya di Jakarta kota. Sedangkan ongkos dari Pulau Pramuka ke Jakarta kota terbilang lumayan, juga dengan waktu yang dibutuhkan. Tidak hanya untuk kebutuhan pangan, untuk kebutuhan sandang pun mereka harus membelinya dari Jakarta kota, seperti telepon genggam, pakaian, almari, tempat tidur dan lain sebagainya. Sehingga wajar jika harga-harga barabg/makanan di sini hampir dua kali lipat lebih mahal dari harga yang ada di Jakarta kota.

Lingkungan perumahan warga di pulau ini sangat sempit. Kita tidak akan menemukan mobil di pulau ini. Jalan-jalannya hanya terdiri dari gang-gang kecil yang hanya muat untuk kendaraan roda dua atau tiga. Itu untuk transportasi di dalam pulau, sedangkan untuk transportasi ke luar pulau, tidak ada jalur lain selain jalur laut. Biaya transportasi dari Pulau Pramuka ke Jakarta kota (muara angke) kurang lebih berkisar Rp 30.000,- sampai Rp 35.000,-. Sedangkan untuk ke pulau lain yang masih terhitung dekat hanya Rp 2.000,- misalnya ke Pulau Panggang.

Makanan khas pulau ini adalah mpek-mpek bumbu kacang. Mpek-mpek yang berbahan dasar ikan ini digoreng lalu dicelupkan ke dalam bumbu kacang. Ikan yang menjadi bahan dasar makanan ini tidak dapai dipastikan. Menurut ibu Nurjanah (salah satu penjual mpek-mpek bumbu kacang), beliau membuat mpek-mpek berbahan dasar ikan yang tidak ditentukan sesuai dengan hasil tangkapan. Berbagai macam ikan yang biasanya digunakan adalah ikan tenggiri, ikan tongkol, ikan selayar dan masih banyak lagi.

Pengunjung yang datang ke pulau ini dapat membawa oleh-oleh beraneka ragam. Tidak hanya ikan, dodol rumput laut, mpek-mpek bumbu kacang dan kripik sukun. Tetapi juga berbagai macam kerajinan tangan. Kerajinan tangan yang dibuat penduduk asli Pulau Pramuka antara lain hiasan dinding yang terbuat dari kerang, gantungan kunci, dompet, baju lukis dan masih banyak lagi. Pengunjung tidak akan rugi membeli hasil-hasil kerajinan ini.

Wahana permainan di pulau ini cukup beraneka ragam. Mulai dari wahana air seperti banana boat, snorkling dan lain-lain serta wahan alam seperti outbond dan penyewaan sepeda. Banana boat dan snorkling sangat diminati mereka yang menyukai air. Namun biaya penyewaannya cukup mahal untuk kantong mahasiswa. Sedangkan outbondnya kurang dimaksimalkan. Untuk saat ini outbond sudah tidak berfungsi lagi. Ini sangat disayangkan. Bagi mereka yang terbiasa menyatu dengan alam, pasti menyukai outbond. Tetapi yang terlihat saat ini tidak sesuai yang diharapkan. Flying fox, jembatan gantung dan sebagainya tidak dapat digunakan lagi. Sangat diharapkan kepada pemerintah setempat meninjau hal ini.

Pulau Pramuka mempunyai beberapa keunikan, salah satunya adalah penamaan jalan disetiap persimpangan. Penamaan jalan-jalan ini adalah nama-nama bermacam-macam ikan. Seperti ikan nolaris, ikan barakuda, ikan ikan mhoris, ikan selayar, ikan karpu dan lain-lain. Ini merupakan ciri khas Pulau Pramuka. Kebijakan pemerintah ini baru saja dilaksanakan, bahkan penduduk pun mengakui bahwa mereka belum menghafal semua nama-nama jalan itu.

Keunikan lainnya berada pada mitos-mitos di pulau ini. Salah satunya adalah mitos karang langkah-langkah. Karang langkah-lagkah ini adalah sebuah batu yang hampir sama seperti cerita malinkundang tetapi berbeda makna. Jadi zaman dahulu sangat dilarang bila pengantin yang baru menikah belum ada satu minggu sudah menyebrang pulau. Pada saat itu sepasang pengantin baru melanggarnya. Mereka nekat menyebrang pulau untuk mendapatkan air bersih karena saat itu sedang krisis air. Mereka juga membawa sebuah kendi. Ditengah perjalanan kapal yang mereka tumpaki oleng dan akhirnya mereka tenggelam bersama kendinya. Patung karang yang berada di antara Pulau Pramuka dan Pulau Panggang berbentuk seperti dua orang yang saling berpelukan yang ditengah-tengahnya terdapat kendi. Karang ini hanya dapat dilihat jika ombak tidak terlalu besar dan air sedang jernih.

Budaya lain yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Pramuka yaitu pesta laut. Pada tanggal 17 Agustus, untuk meperingati kemerdekaan, masyarakat Pulau Pramuka menabur bunga di laut. Selain itu tabur bunga juga dilaksanakan untuk mengenang sejarah Pulau Panggang, yaitu kapal yang terbakar hampir 30 tahun lalu.

Masyarakat Pulau Pramuka mengaku bahwa mereka tidak bisa makan tanpa ikan. Menurutnya ikan adalah menu utama setiap saat. Iuran warga biasabya diadakan untuk membuat syukuran di setiap perapatan. Syukuran itu berupa bubur merah dan bubur putih yang diletakan begitu saja di setiap perapatan. Masyarakat percaya ritual tersebut sebagai ritual untuk tolak bala (menolak bala/menolak malapetaka).

Pengadaan listrik di pulau ini juga baru-baru saja diadakan. Sebelumnya meraka menggunakan mesin diesel. Itu pun harus bergilir dan hanya menyala jika malam tiba. Misalkan malam ini kampung sebelah timur menyala, maka kampung sebelah barat padam. Begitu pula sebaliknya dan seterusnya. Tetapi kini listrik sudah memasuki Pulau Seribu. Masyarakat dapat memakai listrik siang dan malam tanpa ada jadwal penggiliran lagi.
Sumber : olfiana 
Ombak-ombak berkejaran di sela akar-akar bakau yang tumbuh memanjang. Kepiting dan ikan kecil berenang dengan mesra. Musim angin selatan sesaat lagi tiba, ombak lebih besar dari biasanya. Bakau yang baru berukuran 50 cm itu nampak rapi, dan siap menerima terjangan musim angin selatan.
Ratusan tahun lalu, di tengah lautan yang sama, sebuah kapal terombang-ambing dan awaknya berjatuhan kelaut satu demi satu. Kapal itu semakin goyah dan terjadi kebocoran dimana-mana. Pemilik kapal, yang merupakan orang Mandar, berseru untuk mengencangkan tiang dan tali layar.
Apa daya, sebuah ombak besar keburu menghantam sisi kapal, dan kapal itu hancur. Awaknya bergelimpangan di tengah lautan, bersembulan dan kehilangan nyawa. Hari menjelang pagi, hanya satu orang yang selamat, dan itu hanya si pemilik kapal.
Bertahun-tahun ia mengapung di tengah lautan luas tanpa mengalami kematian. Kaki dan tangannya telah ditumbuhi teritip dan ganggang. Kulitnya sudah rusak. Akhirnya terdamparlah ia di sebuah pulau, dan ia telentang diatas pesisirnya. Nafasnya tinggal satu-satu, kesaktiannya hilang begitu menyentuh pasir.
Penduduk pulau yang ada di sana kebingungan, sebab ada orang yang kulitnya sudah rusak dan ditumbuhi teritip namun masih hidup. Ketika ia ditolong, ia nampak sudah mendekati ajalnya. Ia berkata, “Aku sesaat lagi mati. Bila kamu ingin mandikan dan kuburkan aku, jangan kamu bersihkan kulitku”.
Ia akhirnya mati, dan sebelum mati ia meninggalkan sebuah amanat, “bila kamu ingin kuburkan aku, maka kapalku galangkanlah dulu”. Penduduk pulau tidak bertanya, sebab mereka yakin, si Mandar ini bukan orang biasa. Setelah kapalnya yang karam digalangkan, maka diadakan upacara penguburan. Ketika upacara ini, mengalirlah darah berwarna putih dari sela kulit Mandar. Oleh sebab itu, ia dipanggil dengan Darah Putih.
Ketika upacara penguburan diadakan, terjadi sesuatu di tengah lautan. Ombak bergulung-gulung dengan besarnya, sementara angin menghembus dahan-dahan kelapa menjadi terhuyung. Petir menggelegar. Para penduduk pulau panik, pemakaman baru saja dilaksanakan, belum lagi ada yang sampai ke rumahnya.
Dengan panik, para penduduk berkumpul kembali di dekat makam Darah Putih dan membuat sebuah mantra, “Hai Makam Darah Putih! Tolong lautan ini kau teduhkanlah!” Tak berapa lama, lautan menjadi teduh, angin berhenti, dan suasana kembali tenang. Makam itu kini bisa dilihat di Pulau Karya, sebelah Pulau Panggang.
Penduduk mulai ramai. Mulai banyak anak-anak dan penduduk Mandar, bugis, banten, dan jawa banyak yang menetap disana. Banyak juga yang wafat, dan dikuburkan. Perumahan mulai padat, dan pulau semakin menyempit karena padat. Banyak juga reklamasi untuk membangun rumah baru.
Hari beranjak malam, semua sudah mematikan pelita. Angin berhembus tenang, membawa suara-suara dari tengah lautan. Udara dingin, membuat semuanya menarik selimut lebih erat. Tak berapa lama, telinga dikejutkan dengan suara langkah kaki kuda. Menapak-napak penjuru pulau. Di pulau itu tidak pernah dijumpai kuda sebelumnya.
Seorang mengintip, alangkah terkejutnya ia melihat sesosok penunggang kuda putih. Lentera dibawanya disisi kiri, sementara sisi kanannya memegang tali kekang yang juga putih terang warnanya. Ia mengenakan surban, yang tampak bersinar di kegelapan malam. Kainnya menjulur seperti panji, sementara ia mengenakan jubah putih.
Janggutnya lebat, tetapi tak ada yang dapat melihat mukanya. Seorang yang mengintip itu nampak ketakutan, dan ia segera menutup jendela. Ini berlangsung sepanjang malam itu, dan paginya beberapa penduduk mengalami hal yang sama.
Cerita tentang penunggang kuda ini tersebar dari mulut kemulut. Ketika itu, malam jum’at, sekelompok juru ronda berjaga di tepi dermaga. Ada yang mengobrol tentang pulau, ada pula yang terkantuk-kantuk. Tiba-tiba, sang penunggang kuda kembali menampakkan wujudnya di kejauhan. Hal ini terus berulang setiap malam jumat.
Hingga pada akhirnya, di pulau-pulau terluar terjadi bencana. Beberapa penyihir dari Kalimantan dan daratan Jawa membuat suatu kutukan mengerikan. Entah apa alasannya, yang jelas setiap anak yang tidur di siang hari, maka ia akan hilang pada sore harinya. Tanpa jejak, dengan pintu kamar yang terkunci.
Keesokan harinya, anak-anak itu ditemukan bergelimpangan di jalan-jalan utama pulau. Telentang. Tanpa luka sedikitpun. Penduduk pulau geger, dan langsung diketahui bahwa ini adalah sihir. Tetapi siapa yang mengirimnya? Untuk apa? Kenapa pula menyasar anak-anak pulau ini?
Pada malamnya, seorang penduduk, yang kehilangan anaknya karena peristiwa itu mengalami mimpi. Sang penunggang kuda putih datang kepadanya, dan memberikan sebuah pertanda mengenai bencana yang menimpa pulaunya.
Keesokan paginya, si penduduk yang mengalami mimpi itupun memberitahukan kepada yang lain, dan segera dilakukan pencarian terhadap sumber sihir. Entah kenapa juga, di pulau Pramuka, Panggang, dan Karya, yang menjadi asal dari Sang Penunggang Kuda Putih itu tidak sama sekali terkena dampak dari sihir.
Ratusan tahun kemudian, berdirilah pemukiman modern diatas kepulauan itu. Pulau Panggang menjadi pusat Kelurahan, sementara Pulau Pramuka menjadi pusat kabupaten. Sudah ribuan orang yang menetap di sana.
Folklore yang ditemukan diatas, hanyalah sekelumit ceritera rakyat yang hilang dan membentuk kearifan setempat. Folklore, adalah salah satu unsur pembentuk kebudayaan dalam sebuah sistem masyarakat. Kepulauan ini adalah contoh terbaik bagaimana folklore membentuk kearifannya.
Bahnawi, 54, adalah seorang pelaut, sedangkan Haji Ahmad, 70, adalah pembangun dan saksi hidup berkembangnya pulau ini. Mereka mengajarkan satu prinsip filsafatis yang amat dalam, sedalam lautan yang menjadi penghubung kepulauan, rumah-rumah mereka.
Pada dasarnya, lautan, memiliki hati. Samudera raya ini memiliki perasaan yang dapat membaca hati setiap manusia yang berlayar dan tinggal di atas pulau-pulaunya. Kita, manusia, apabila memiliki niat baik, lautan akan mendukung kita, secara kasat mata. Entah itu berupa tenangnya lautan, keluarnya rizki yang melimpah dari dasarnya, atau dijaganya pulau dari kedatangan lanun dengan membesarnya ombak.
Apabila kita memiliki niatan jahat ketika datang ke lautan tersebut, atau memiliki etika kurang sopan, maka lautan dan kepulauan tersebut akan meluapkan kemarahannya, dari sekedar menegur, hingga meminta korban jiwa.
Ketika pembangunan dermaga, ada seorang pekerja yang dengan angkuh bermain-main di sekitar pantai dan dalam istilah Ibu Denta, seorang ketua RT, kurang permisi. Akibatnya, ia tenggelam dan secara ajaib, jasadnya hilang di dasar lautan. Ketika itu, ia tenggelam di bawah batuan proyek dermaga utama Pulau Pramuka.
Masyarakat setempat dan rekan kerjanya berusaha mencari tetapi tidak ditemukan juga. Akhirnya, warga meminta petunjuk dan “pembersihan” dengan doa seorang alim ulama, ustad pulau tersebut, dan ditunjukkanlah dimana mayatnya. Sang pekerja ditemukan dalam kondisi bersedekap, terduduk, bersandar di tiang jembatan dermaga. Di sana penyelam sudah mencari berulang kali, namun baru kali ini terlihat.
Filsafat yang dalam ini timbul akibat ikatan yang kuat antara pelaut, pulau, dan samudera. Kearifan mereka, yang menjaga pulau ini, sebetulnya memiliki arti utama bukan menghormati atau merawat lautan itu sendiri.
Sang Penunggang Kuda Putih, Sang Darah Putih dari Mandar, hanyalah simbol sebuah kearifan betapa lekat kehidupan masyarakat kepulauan ini dengan lautan. Berbeda dengan apa yang kita kenal sebagai wisata, mereka lahir, tumbuh, dan dimakamkan di kepulauan ini. Laut adalah rumah.
Dengan khusus, Sang Penunggang Kuda Putih, adalah simbol seorang syaikh. Haji Ahmad menekankan bahwa kepulauan ini adalah kepulauan yang religius. Bukan kepulauan yang lugu, yang primitif. Apabila masyarakat daratan memandang mereka sebagi masyarakat yang kampungan, salah besar.
Sang Penunggang Kuda Putih yang digambarkan menjadi syaikh penolak sihir mengerikan, menyimbolkan bahwa Umarolah yang mampu melindungi rakyatnya dari malapetaka. Bukan sosok putri, raja, pangeran, atau panglima. Syaikh adalah seorang yang mendalam pengetahuan agamanya dan mampu menjadi pemimpin bagi rakyat.
Sang Darah Putih, adalah simbol kegagahan seorang pelaut. Suku Mandar, dari Sulawesi Selatan, adalah suku yang dikenal amat sakti. Mereka mampu mengendalikan mayat, menyihir jarak jauh, dan menaklukkan lautan. Darahnya memang terkenal putih sebagai efek samping aji mandraguna.
Masyarakat Kepulauan Seribu terdiri dari mayoritas orang Mandar. Mereka inilah pewaris-pewaris kegagahan masa lalu, yang kini mulai ditinggalkan dengan kebijakan pemerintah yang hanya terfokus kepada pembangunan daratan dan kota besar. Jarang ada pembangunan yang memfokuskan pemeliharaan dan eksploitasi lautan secara optimal.
Makam Darah Putih, dipercaya sebagai makam keramat. Keramat disini diartikan seperti seorang pemilik terhadap rumah sewaan. Apabila kita ingin pergi dan kembali, tentu kita harus minta izin terlebih dulu. Demikian pula masyarakat sana.
Minta izin bukan diartikan pemujaan, tetapi, segala hal yang dilakukan, segala hal yang dibangun, diruntuhkan, diciptakan, dipindahkan, harus memperhatikan kearifan dan sejarah masa lalu. Jangan sampai segala pembangunan yang ada meruntuhkan peninggalan kebudayaan masa lalu, dan berganti menjadi kebudayaan industri yang terbukti gagal mempertahankan kearifan budaya asli Indonesia.
Mantra Darah Putih, yang dituturkan Haji Ahmad, sesungguhnya bukan bentuk kemusyrikan, tetapi secara kebahasaan menunjukkan kesadaran bahwa rakyatnya bekerja di lautan. Hidupnya amat tergantung dengan lautan. Apabila terjadi sesuatu dengan lautan, habislah penghidupan.
Ketika Sang Darah Putih ini wafat, barulah segala aspek kehidupannya kembali ke daratan. Kapalnya dinaikkan ke darat. Manusia, tercipta dari tanah, dan tanah ini secara umum disimbolkan dengan daratan. Ketika ia mati, ia akan serta merta kembali menjadi tanah. Betapapun jauhnya pelayaran, betapapun saktinya ia. Tanah, itulah hakikat hidup seorang manusia.
Bangsa pelaut kepulauan ini memang mencari makan di lautan, tetapi mereka akan pulang kepada asalnya. Mereka tercipta dari tanah, dan akan kembali tanah lagi. Ini menunjukkan sisi kesadaran masyarakat yang amat tinggi kepada asal kejadiannya, agar tidak sombong. Secara kebetulan pula, setiap orang yang ditanyai mengenai sejarah kebudayaan kepulauan, akan mengawalinya dengan ucapan “Maaf, jika saya salah, manusia memang banyak salahnya”. Sekali lagi, folklore yang dipandang sebagai fosil kebudayaan zaman dulu, jangan sampai hilang. Apabila itu terjadi maka dengan sendirinya akar kebudayaan akan hilang, dan arah kebudayaan yang sedang berkembang itu menjadi tak jelas. Hancur.
Sumber : risalahamar 

Text Widget

Popular Posts

Recent Posts

Sample Text

Unordered List

Pulau Seribu