

Selama 2 jam 50 menit aku berada diatas
perahu yang kurasa jalannya sedikit lambat, mungkin kalau di samakan
dengan motor kecepatannya kurang lebih 30 km/jam. Perahu ojek umum
dengan ongkos IDR 30.000 per orang dan bukan speed boat yang mungkin
ongkosnya bisa ratusan ribu sekali jalan. Tips untuk menggunakan perahu,
jangan duduk diatas perahu yang nggak ada atapnya, apalagi kalau jadwal
berangkatnya siang. Carilah tempat yang ada terpal/atapnya, karena
perjalanan di laut kurang lebih 3 jam.

Pulau Karya

Masjid Pulau Pramuka
Warna air laut yang bening kehijauan
membuat sadar bahwa masih ada tempat tidak jauh dari Jakarta dimana kita
bisa menemukan air laut yang jernih. Tidak seperti air laut yang ada di
pantai pinggiran Jakarta yang airnya coklat kehitaman karena terlalu
banyak polutan.
Karena hari itu Jumat dan rencananya pada
malam harinya kami akan mendirikan tenda di pulau lain, akhirnya kami
mampir ke warung yang ada di samping kanan dermaga tepat berada di depan
kantor pos dan masjid pulau itu. Si ibu yang cukup “welcome” dengan
kami yang baru sampai dari Jakarta bercerita dengan gamblang mengenai
pulau ini, akupun berusaha untuk mendapatkan beberapa informasi yang
mungkin berguna untuk perjalananku kali ini. Dari si ibu yang aku lupa
namanya itu, aku mendapat beberapa referensi untuk menyewa perahu untuk
berangkat ke pulau lain, tempat untuk menyewa peralatan snorkeling,
kantin yang ada di pulau ini, sampai tempat untuk mendirikan tenda jika
akhirnya kami harus mendirikan tenda di pulau pramuka dan bukan di pulau
lain.
Sholat Jumat pun tiba, kami menitipkan
tas di warung si ibu. Jumat itu masjid di penuhi orang yang mungkin para
wisatawan dari Jakarta karena sepertinya banyak dari mereka bukan
seperti orang pulau. Uniknya di pulau ini, sebelum sholat jumat akan
dibunyikan bedug sebanyak 3 kali. Yang pertama adalah pagi hari sebagai
pemberitahuan bahwa hari ini adalah hari Jumat jadi akan ada sholat
Jumat, kemudian yang kedua menjelang siang sebagai pemberitahuan untuk
mandi sebelum sholat, dan yang terakhir adalah bunyi bedug sebelum adzan
sholat. Informasi ini pun aku dapatkan dari pemilik warung tadi.

Kemping di Pulau
Usai makan siang dan sholat ashar kami
berangkat ke pulau tetangga untuk kemping, kurang lebih selama 30 menit
naik perahu ojek Pak Sangin dengan harga sewa IDR 350.000 antar jemput
selama 2 hari. Bermalam di tenda di pulau yang tidak berpenghuni, bekal
makanan dan minuman kami bawa dari Pulau Pramuka. Ternyata malam di
pulau itu banyak perahu yang berada di perairan yang diapit oleh
beberapa pulau kecil buatan, mungkin sebelum berangkat mencari ikan atau
sekedar bersandar untuk mencari kepiting atau bahkan hanya sekedar
lewat saja. Yang pasti beberapa perahu lalu lalang malam itu.
Hari Kedua

Snorkeling
Pagi itu setelah membereskan tenda,
sekitar jam 6 pagi kami langsung menuju pantai yang persis berada di
bagian depan pulau, karena disana ada dermaga dan beberapa bangunan
tempat peristirahatan, sementara tempat kemping kami di bagian samping
pulau. Sekitar jam 8.30 pagi Pak Sangin datang dengan kapal ojeknya
bersama bapaknya yang juga merupakan pejaga pulau itu. Kami sarapan
dengan Nasi Uduk yang dibeli Pak Sangin dari Pulau Pramuka. Lumayan juga
untuk mengisi perut di pagi hari sebelum snorkeling di Semak Daun. Nasi
Uduk seharga IDR 8.000,- dengan isi telur semur dan bakwan menjadi
hidangan pagi itu. “Harganya naik jadi 8000, biasanya sih cuma 5000,
soalnya banyak tamu yang dateng” ujar Pak Sangin.
Usai sarapan, tujuan selanjutnya adalah
Pulau Semak Daun. Dari pulau tempat kami kemping ke Pulau Semak Daun
sekitar 30 menit dengan perahu ojek milik Pak Sangin. Dari kejauhan
Pulau Semak Daun terlihat tidak begitu besar, banyak tenda jenis dome
yang berdiri di tepi pantai dengan satu bangunan rumah yang terletak di
pojok belakang pulau. Pulau ini luasnya hanya 4 Hektar, mungkin kurang
lebih seperti lapangan bola ya. Ternyata Pulau Semak Daun tempat
favorite untuk kemping dan untuk berenang ataupun belajar snorkeling,
terlihat dari banyaknya perahu yang bersandar di dermaga pulau ini.

Pintu Masuk Homestay Laylad
Sayangnya karena banyaknya pengunjung
yang menyewa alat snorkeling, tidak tersisa satupun untuk kami pagi itu,
padahal hari sebelumnya kami sudah pesan. walhasil jatah sewa untuk
kami akan ada siang hari dan kami bergantian menggunakan kacamata renang
milik Pak Sangin. Setelah puas berenang disekitar pantai dan
berkeliling pulau yang tidak sampai 20 menit dan bermain-main pasir
dengan memendam badanku di dalam pasir, kamipun kembali ke Pulau Pramuka
untuk mengambil alat snorkeling jatah sewa kami serta untuk cek in
penginapan serta makan siang dan beristirahat sebentar sebelum
snorkeling sesungguhnya di sekitar gugusan karang dekat Pulau Air.
Sebelum meninggalkan Pulau Semak Daun, biasanya para pengunjung
memberikan uang kepada Bapak Tua penjaga Pulau Semak Daun IDR 20.000 per
perahu.

Homestay Laylad
Sekitar jam 3 sore setelah cek in di
Homestay Laylad milik Ibu Januati yang juga sering di panggil sebagai
Ibu Wakil, karena beliau istri mantan wakil camat, kami berangkat menuju
koral untuk snorkeling. Homestay yang kami sewa permalamnya IDR
350.000,- dengan 2 buah kamar seukuran kurang lebih 4×3 meter sebuah
ruang tamu dan sebuah ruang keluarga yang juga berukuran sama serta
sebuah kamar madi yang berada di dalam rumah. Ada sebuah TV di ruang
keluarga dan masing-masing sebuah AC di setiap kamar yang hanya bisa
digunakan setelah jam 4 sore hingga jam 7 pagi. Karena memang di Pulau
ini listrik masih menggunakan Genset yang berada di bagian
belakang Pulau dekat Lapangan Bola.
Diatas perahu Pak Sangin selama 45 menit,
akhirnya sampai juga di lokasi koral tempat favorite untuk senorkeling.
Langsung saja dengan peralatan snorkeling kami menceburkan diri kelair
laut yang terlihat biru cerah dengan karang-karang indah di dalamnya.
Banyak ikan barwarna warni disekitar koral ini, banyak juga enis koral
yang mirip bentuknya mirip tentakel-tentakel gurita tetapi keras, ada
juga bentuk karang yang mirip dengan bentuk otak manusia, ada yang mirip
dengan bentuk kipas, dan masih banyak lagi. Sayangnya aku tidak punya
kamera underwater untuk mengabadikan gambarnya.
Yang sangat disanyangkan adalah
ketidaksadaran para snorkelers ataupun para nelayan yang tidak seringa
merusak karang-karang indah ini. Di beberapa bagian koral terlihat
karang-karang yang sudah mati. Kata Pak Sangin banyak para nelayan yang
menggunakan racun untuk menangkap ikan sehingga banyak karang yang mati,
dan sekarang pendapatan mereka dari ikan semakin berkurang karena
banyak ikan yang tidak lagi tinggal di karang-karang tersebut. Sedangkan
para wisatawan yang melakukan snorkeling, mungkin sengaja atau tidak
terkadang sering sering menginjak karang-karang ini untuk berdiri diatas
karang untuk difoto. Kerusakan dari para snorkelers ini terlihat dari
banyaknya karang-karang hidup yang patah bagian atasnya. Sayang sekali,
andai saja kita para pengunjung secara sadar snorkeling tidak untuk
merusak karang tetapi untuk melihat keindahan alam.

Sunset di Pulau Pramuka
Malam harinya setelah membayar kekurangan
ongkos perahu IDR 150.000,- dengan Pak Sangin kami mencari makan makam
di kantin-kantin yang berada di bagian tengah Pulau Pramuka. Ternyata
sudah banyak orang yang memesan makanan dari siang hari, hasilnya kami
menunggu cukup lama sekitar 30 menit untuk dapat menikmati pecel ayam
seharga IDR 14.000 per porsinya. Menu lain yang ada di warung ini ada
bandeng bakar tanpa tulang dan macam-macam lauk hasil laut lainnya.
Hari Ketiga
Minggu jam 6.30 kami sudah meluncur ke
lokasi belakang pulau dekat lapangan bola untuk melihat matahari terbit.
Sayang sekali kabut menutupi sinar matahari pagi itu. Tidak seperti
bagian depan Pulau Pramuka yang terdapat dermaga dengan perahu-perahu
yang bersandar, bagian belakang pulau ini banyak sekali terdapat sampah
limbah rumah tangga dan pengunjung. Beberapa meter dari pantai ada pos
pengolahan sampah kompos dengan logo salah satu institut di Bogor
berukuran 2×2 meter yang tidak terawat
dan terlihat beberapa tenda dilapangan bola tepat sebelum pos dengan
beberapa orang yang masih tidur di luar tenda. Memang lapangan bola ini
merupakan tempat diperuntukkan bagi backpacker untuk mendirikan tenda,
tetapi tentunya dengan ijin dari ketua RT/RW setempat. Masih berdekatan
dengan lapangan bola ada genset yang masih beroperasi karena pagi itu
belum genap jam 7 pagi. Masih di dekat situ ada sebuah bangunan milik
departemen pertanian dan jika terus berjalan mengikuti jalan berkonblok
kearah selatan ada tempat pemeliharaan penyu sisik yang dikelola Pak
Salim.


Tempat Pemeliharaan Penyu
Siangnya setelah packing, lalu kami
mencari makan siang untuk persiapan sebelum kembali ke Jakarta dan
sekalian mampir ke tempat pemeliharaan penyu yang pagi harinya telah
kami lewati. Ternyata di depan pintu masuk sudah ada beberapa orang yang
menunggu pintu dibuka. Di dalam bagunan kayu dengan jendela dengan
kawat ada 10 bak biru berukuran sekita 2×1 meter tempat penyu-penyu
sisik di letakkan. Antar penyu yang masih kecil dengan usia sekitar 3
bulan dipisahkan dengan penyu yang sudah agak besar. Dikiri pintu masuk
bangunan ini ada kotak tempat memasukkan uang bagi pengunjung yang
ingin berkontribusi dalam pelestarian penyu, sedang di sisi kanan
terdapat beberapa botol berisi cairan bening dengan isinya tukik-tukik
yang sudah mati. Ada juga bayi biawak yang diawetkan.
Disamping bangunan itu
ada tempat penetasan telur penyu yang diambil sendiri oleh Pak Salim
malam sebelumnya di pantai Pulau Pramuka. Masih dibangunan ini ada kolam
tempat penyu-penyu cacat dipisahkan dari yang sehat. Dibagian luar
bangunan ada
tempat pembibitan mangrove yang nantinya jika suah siap akan ditanam di
pantai bagian belakang pulau pramuka yang lokasinya hanya beberapa
meter dari lokasi tempat pemeliharaan penyu ini.

Setelahnya kami mencari sarapan pagi,
tepat di depan rumah Bu Wakil ada serang ibu pedagang keliling yang
menjual miehun, bakwan, tahu goreng, kentang dan telur rebus yang
harganya antara IDR 500,- sampai IDR 1.000,-. Ada satu jenis makanan
yang mungkin tidak kami temui di Jakarta, orang pulau menyebutnya
“selingkuh” yakni longtong rebus dengan isian daging ikan kembung yang
kalau di Jakarta isinya oncom atau sayuran kentang dan wortel. Setelah
kutanyakan ke Pak Wakil yang juga kebetulan sedang duduk santai di depan
rumahnya yang atapi pohon bougenvil mirip seperti tenda orang hajatan,
“kenapa namanya selingkuh pak?” tanyaku. “Orang selingkuh itu kan
terselubung dan rasanya enak, sama juga dengan makanan ini isinya ikan
yang terselubung nasi dibungkus dengan daun pisang dan rasanya juga
enak, makanya dinamakan selingkuh” cerita Pak Wakil dengan bahasa
Indonesia berlogat Pulau yang menurutku mirip logat orang Sulawesi.
Cukup lama kami mengobrol di bawah “tenda” bougenvile dengan Pak Wakil
dan abangnya (mungkin) dengan seteko teh hangat yang di suguhkan Bu
Wakil ditemani dengan suara Nike Ardilla yang disetel keras-keras,
mumpung, sebelum listrik mati.


Perahu Ojek ke Muara Angke
Pesan Bu Wakil adalah cari tempat duduk
diatas dek, tepat ditengah supaya lebih sejuk dan tidak kena panas
matahari yang siang itu sangat terik. Sekitar jam 13.20 perahu berangkat
menuju Muara Angke dengan kecepatan yang lebih cepat dibanding perahu
waktu pertama kali kami berangkat. Jarak Pulau Pramuka – Muara Angke
dengan jalur yang sama ditempuh dalam waktu kurang dari 2 jam 30 menit.
“Sampai jumpa lagi Pulau Pramuka dilain waktu”
Sumber : dhartodar