Meski eksekusi mati Kartosoewirjo telah berlalu setengah abad, tidak
banyak dokumen memuat hari-hari terakhirnya. Mulai dari penangkapan,
pemulihan kesehatan, hingga lokasi eksekusi dan pemakaman. Semua masih
misterius.
Menurut Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengakui dokumen-dokumen mengenai Kartosoewirjo masih sedikit. “Mungkin karena minat kita terhadap peristiwa itu kurang, kemudian kita tidak pernah tahu berapa banyak jumlah dokumen diserahkan Angkatan Darat ke Arsip Nasional,” ujar Asvi saat dihubungi merdeka.com Selasa lalu.
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) juga berpendapat serupa. Seorang pegawai di sana mengungkapkan dokumen hari-hari terakhir Kartosoewirjo malah banyak dari sumbangan arsip personal. Meski begitu, pihaknya masih berusaha mencari dokumen-dokumen lainnya.
ANRI mencatat Marzuki Arifin paling banyak menyumbang dokumen soal Kartosoewirjo, paling banyak foto. Mereka memperkirakan mantan pemimpin redaksi majalah Ekspres ini menyerahkan bukti-bukti itu pada masa Orde Baru.
Selain Marzuki, penyumbang dokumen terkait Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Kartosoewirjo adalah Djamal Marsudi. Dalam sebuah catatan, dia pernah bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Batalion Banteng Loreng, Cilacap, Jawa Tengah, di bawah pimpinan Mayor Suroso pada 1948-1950.
Dokumen-dokumen dari kedua orang itu tersimpan di ANRI, Jakarta. “ANRI hanya mengumpulkan arsip, sejarawan dan peneliti berhak menafsirkan,” ujar seorang pegawai ANRI saat menunjukkan dokumen-dokumen itu kepada merdeka.com.
Semua dokumen itu sedikit berbeda dengan 81 foto milik Fadli Zon. Dari 28 foto koleksi ANRI, beberapa di antaranya tidak dimiliki oleh politikus dari Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) itu. Seluruh foto juga tidak memiliki keterangan.
Fadli menolak memberi tahu pemilik foto-foto itu sebelumnya. Seorang sumber merdeka.com memperkirakan foto eksekusi mati Kartosoewirjo banyak salinannya saat dicetak Angkatan Darat. “Di Indonesia banyak kolektor barang dan dokumen bersejarah, jadi sulit ditebak siapa pemiliknya,” kata sumber itu.
Bila foto koleksi ANRI tidak memilki keterangan, siapa pemilik dan pembuat keterangan foto telah dibeli Fadli? Sejarawan dari Universitas Indonesia, Rushdy Hoesein, menduga 81 foto kini dipegang Fadli sebelumnya milik majelis hakim yang mengadili Kartosoewirjo. “Itu bisa saja milik hakim pemberi putusan sebagai bukti eksekusi putusannya,” kata Rusdy kepada merdeka.com saat ditemui di rumahnya kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, Selasa malam lalu.
Memang banyak yang kaget dengan foto-foto Fadli itu, termasuk Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo. Ia hanya tahu melalui cerita-cerita saja. “Saya baru melihat buku foto itu malam hari sebelum peluncuran buku,” ujar Sardjono saat ditemui secara terpisah Sabtu pekan lalu di garut, Jawa Barat.
Tapi seorang sumber mengaku tidak terkejut. Dia malah mempertanyakan kenapa foto-foto itu baru diluncurkan sekarang. “Saya merasakan peluncuran buku itu seperti menggugat peran tentara dalam menjalankan perintah hukum saat itu. Tentara mengeksekusi itu bukan seperti membunuh ayam,” dia menegaskan.
Sumber itu menyesalkan pihak Angkatan Darat tidak diundang sebagai pembicara dalam peluncuran buku itu. Menurut dia, itu bentuk penghinaan terhadap kors tertentu di Angkatan Darat. “Kenapa tidak kalian tanyakan kepada Fadli Zon?” kata sumber itu.
Menurut Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengakui dokumen-dokumen mengenai Kartosoewirjo masih sedikit. “Mungkin karena minat kita terhadap peristiwa itu kurang, kemudian kita tidak pernah tahu berapa banyak jumlah dokumen diserahkan Angkatan Darat ke Arsip Nasional,” ujar Asvi saat dihubungi merdeka.com Selasa lalu.
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) juga berpendapat serupa. Seorang pegawai di sana mengungkapkan dokumen hari-hari terakhir Kartosoewirjo malah banyak dari sumbangan arsip personal. Meski begitu, pihaknya masih berusaha mencari dokumen-dokumen lainnya.
ANRI mencatat Marzuki Arifin paling banyak menyumbang dokumen soal Kartosoewirjo, paling banyak foto. Mereka memperkirakan mantan pemimpin redaksi majalah Ekspres ini menyerahkan bukti-bukti itu pada masa Orde Baru.
Selain Marzuki, penyumbang dokumen terkait Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Kartosoewirjo adalah Djamal Marsudi. Dalam sebuah catatan, dia pernah bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Batalion Banteng Loreng, Cilacap, Jawa Tengah, di bawah pimpinan Mayor Suroso pada 1948-1950.
Dokumen-dokumen dari kedua orang itu tersimpan di ANRI, Jakarta. “ANRI hanya mengumpulkan arsip, sejarawan dan peneliti berhak menafsirkan,” ujar seorang pegawai ANRI saat menunjukkan dokumen-dokumen itu kepada merdeka.com.
Semua dokumen itu sedikit berbeda dengan 81 foto milik Fadli Zon. Dari 28 foto koleksi ANRI, beberapa di antaranya tidak dimiliki oleh politikus dari Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) itu. Seluruh foto juga tidak memiliki keterangan.
Fadli menolak memberi tahu pemilik foto-foto itu sebelumnya. Seorang sumber merdeka.com memperkirakan foto eksekusi mati Kartosoewirjo banyak salinannya saat dicetak Angkatan Darat. “Di Indonesia banyak kolektor barang dan dokumen bersejarah, jadi sulit ditebak siapa pemiliknya,” kata sumber itu.
Bila foto koleksi ANRI tidak memilki keterangan, siapa pemilik dan pembuat keterangan foto telah dibeli Fadli? Sejarawan dari Universitas Indonesia, Rushdy Hoesein, menduga 81 foto kini dipegang Fadli sebelumnya milik majelis hakim yang mengadili Kartosoewirjo. “Itu bisa saja milik hakim pemberi putusan sebagai bukti eksekusi putusannya,” kata Rusdy kepada merdeka.com saat ditemui di rumahnya kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, Selasa malam lalu.
Memang banyak yang kaget dengan foto-foto Fadli itu, termasuk Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo. Ia hanya tahu melalui cerita-cerita saja. “Saya baru melihat buku foto itu malam hari sebelum peluncuran buku,” ujar Sardjono saat ditemui secara terpisah Sabtu pekan lalu di garut, Jawa Barat.
Tapi seorang sumber mengaku tidak terkejut. Dia malah mempertanyakan kenapa foto-foto itu baru diluncurkan sekarang. “Saya merasakan peluncuran buku itu seperti menggugat peran tentara dalam menjalankan perintah hukum saat itu. Tentara mengeksekusi itu bukan seperti membunuh ayam,” dia menegaskan.
Sumber itu menyesalkan pihak Angkatan Darat tidak diundang sebagai pembicara dalam peluncuran buku itu. Menurut dia, itu bentuk penghinaan terhadap kors tertentu di Angkatan Darat. “Kenapa tidak kalian tanyakan kepada Fadli Zon?” kata sumber itu.
Sumber : merdeka.com