Indonesia dengan luas wilayahnya yang sebagian besar lautan,
sepantasnya disebut negara maritim. Namun, sebutan negara maritim yang
sudah melekat pada masyarakat Indonesia ternyata belum terbukti. Masih
banyak yang harus diperbaiki terutama dalam hal eksplorasi kelautan.
Hal ini disampaikan Prof. Jamaludin Jompa dari Coral Reef Rehabilitation and Management dalam forum weekend
tentang Konservasi Kelautan Indonesia. "Apa yang menunjukkan kita
negara maritim? Penelitian-penelitian kita saja masih terlalu kecil
untuk bisa mengetahui potensi maritim yang dimiliki Indonesia," ujar
Jamaludin di Newseum, Jakarta, Sabtu (16/7/2011).
Padahal,
menurut Jamaludin, Indonesia termasuk ke dalam Coral Triangle, yakni
Negara dengan potensi maritim terbesar di dunia. "Di dunia ini, ada
tiga besar wilayah yang memiliki potensi maritim terutama terumbu
karang terbesar, yakni wilayah Amazon di Amerika, wilayah Congo Basir
di Afrika, dan Coral Triangle di Indonesia. Enam puluh persen terumbu
karang Indonesia ada di wilayah timur, dengan jumlah lebih dari 500
spesies," jelasnya.
Dr. Yulian
Paonganan, Msc, Direktur Indonesia Maritime Institute yang juga hadir
dalam forum ini menambahkan, Indonesia memiliki potensi maritim senilai
Rp 7 ribu trilyun per tahun. "Angka tersebut bisa didapatkan Indonesia
jika potensi maritim dikelola dengan baik. Indonesia adalah negara
dengan hasil alam yang besar, namun tidak bisa mengolahnya. Hampir 90
persen potensi migas kita dikelola asing. Bahkan mungkin tidak banyak
yang tahu kalau Raja Ampat adalah penghasil nikel terbesar di dunia.
Kapal Sinar Kudus yang dibajak kemarin juga membawa nikel Indonesia
senilai Rp 6,5 trilyun, padahal baru berupa kapal kecil," ujarnya.
Yulian
menambahkan, sayangnya pelaksanaan konservasi kelautan Indonesia masih
berbentuk parsial. "Indonesia masih terkotak-kotak dengan desa,
kecamatan, kabupaten, padahal pengelolaan sumber daya alam harus
terintegrasi, bukan parsial. Contohnya, apa yang dilakukan di gunung,
akan berpengaruh di laut. Tapi tidak banyak masyarakat atau aparat
pemerintah yang tahu sampai sejauh ini," tambahnya.
Irwan
Mulyawan dari Ikatan Sarjana Kelautan, dalam forum ini menambahkan,
masalah otonomi memang menjadi salah satu masalah maritim di Indonesia.
"Hal-hal yang menyebabkan Indonesia masih jauh dari istilah negara
maritim adalah karena tumpang tindihnya masalah otonomi. Para pejabat
di daerah masih belum bersinergi untuk mengelola kelautan secara
bersama-sama. Selain itu, belum adanya pendanaan khusus untuk
pengelolaan. Tapi pengelolaan juga butuh penelitian dan penelitian ini
masih sangat minim karena belum ada indikator yang efektif untuk
mengukur keseimbangan ekologi," ujar Irwan.
Prof.
Jamaludin juga menyampaikan bahwa masalah utama sulitnya Indonesia
menjadi negara maritim adalah masalah penelitian. "Kemampuan riset dan
teknologi Indonesia masih jauh dari negara lain. Maritim Indonesia
masih terlalu misteri untuk dikelola dengan mudah. Indonesia banyak
mengalami pencurian karena penelitian yang kurang. Kita tidak tahu
bahwa potensi alam kita sudah dicuri oleh negara lain karena
pengetahuan kita akan kekayaan laut sangat kurang. Oleh karena itu,
masalah fundamental yang harus dibenahi sekarang ini adalah memahami
kekayaan laut Indonesia," jelas Jamaludin.
Sementara
Yulian menambahkan, Indonesia juga sering melakukan penelitian yang
tidak berkelanjutan. "Banyak penelitian yang tidak berkelanjutan.
Padahal hasil penelitian harus berupa aplikator agar bisa dipakai untuk
eksplorasi. Namun kenyataannya, berapa banyak penelitian mahasiswa
yang berhenti setelah mendapat gelar sarjana? Bagaimana dengan
pembangunan dermaga yang masih setengah jadi sudah ditinggalkan?
Contoh-contoh seperti ini harus menjadi perhatian. Aktivis, akademisi,
dan penentu kebijakan di Republik ini harus nyambung. Ketiga elemen ini
harus bekerja sama agar penelitian bisa berkelanjutan, diaplikasikan,
sekaligus diawasi," ungkapnya.
Prof.
Jamaludin mengungkapkan bahwa CTI (Coral Trader Inisiative) bisa
diberlakukan di Indonesia. "Seharusnya sebagai wilayah dalam Coral
Triangle, Indonesia bisa menjual terumbu karang lebih banyak, namun
sekali lagi, hanya apabila dikelola dengan baik. Ada lima hal yang harus
diperhatikan agar kita berhasil dalam CTI, yakni bentang laut dikelola
secara bersama-sama, bukan per desa atau per kabupaten karena laut
merupakan satu kesatuan.
Kedua, Indonesia harus lebih paham isi laut sebelum mengelola ekosistem. Ketiga, kelola kawasan konservasi laun dalam konteks networking
(peneliti-aktifis-penentu kebijakan-pebisnis-masyarakat). Keempat
adanya kesadaran bahwa spesies harus segera diperbaiki karena keragaman
genetika adalah masa depan populasi manusia.
Terakhir, Indonesia harus peduli bahwa perubahan iklim sudah terjadi di laut Indonesia, misalnya dengan terjadinya coral bleaching di mana warna terumbu karang berubah karena polusi sehingga sulit untuk dijual.