Hari ini saya harus kembali ke
Depok dan meninggalkan tempat yang banyak memberikan saya pengalaman berharga
tentang perjuangan untuk meningkatkan kualitas hidup orang lain. Jangan ditanya
perasaan saya, tentunya sangat sedih mengingat saya sudah mulai bisa
beradaptasi dengan kehidupan orang Pulo. Hampir semua hal di tempat ini saya
sukai mulai dari penduduknya yang ramah, alamnya yang indah, makanannya yang
enak, dll. Hal yang sedikit membuat saya kurang nyaman adalah aroma pengeringan
gurami atau ikan lainnya untuk dijadikan ikan asin. Baunya yang sangat
menyengat membuat kepala saya berontak dan akhirnya kepala saya pusing namun
untung pusingnya hanya menggangu pada hari pertama saja. Hal lain yang membuat
saya “tidak betah” adalah kegelisahan melihat keadaan di Pulau Panggang. Saya begitu
tertegur dengan keadaan di sini, benar-benar berjuang untuk tidak menitikkan
air mata mendengar cerita, keluh kesah, harapan dari orang Pulo.
Semakin lama saya mendengar,
melihat, dan merasakan hidup di sini, satu pertanyaan yang ada di benak saya
semakin sering terngiang “Tuhan, apa yang bisa aku lakukan untuk orang-orang di
Pulau ini?”. Pertanyaan ini terlalu menggelisahkan. Kalau sudah tahu begini
kondisinya trus gimana? Apakah cukup dengan kata “aduh, kasihan..”, “astaga,
kog bisa gitu?”. Memang sih itu menunjukkan empati yang dalam, namun kontribusi
nyata sangat diharapkan oleh orang Pulo. Mereka butuh solusi untuk masalah
perekonomian, pendidikan, kebudayaan yang mereka alami. Dan itu sangat mengusik
nurani.
Mungkin ini cara Tuhan untuk
menegur untuk tidak hanya tinggal di zona nyaman. Saya sangat nyaman di sini,
menikmati pendidikan, menyusun TKA/ skripsi, lulus, mencari pekerjaan dengan
gaji yang menjanjikan, hidup layak, berkeluarga, menjadi dosen jika sudah punya
cukup ilmu dan pengalaman untuk dibagikan kepada mahasiswa, dan kemudian
menikmati masa tua. Di mana space
untuk mengabdi kepada masyarakat? Ah, kan
saya sudah berencana untuk mengabdi sebagai dosen.. Hanya itu? Itu saja sudah lebih dari cukup. Tuhan tampaknya
gemes dengan pola dan perencanaan hidup saya, sehingga rencana-rencana saya
tersebut harus dibenarkan dengan mengikuti program live in di Pulau Panggang.
Tinggal selama 3 hari di sana
membuat saya sadar kalau hidup itu nggak cuma “gitu doang”. Pelajaran yang amat
berharga Tuhan ijinkan untuk saya pelajari dengan cara yang tidak biasa.
Ketika hari ketiga saya di sana,
saya berbincan-bincang dengan Pak Hamdi setelah selesai membantu teman-teman
geo UI untuk membuat peta budaya Pulau Panggang. Pak Hamdi bercerita tentang
keluh-kesahnya selama mengurus sanggar, bagaimana usaha yang dilakukannya
sering kali ditekan oleh pemerintah setempat, bahkan dipandang sebelah mata
oleh orang Pulo sendiri. Ketika beliau bercerita, di kepala saya
terngiang-ngiang sebuah lagu yang membuat saya sangat berjuang untuk tidak
meneteskan air mata. Lagu yang sangat indah, namun karena saya mengerti
liriknya, sangat susah untuk menyanyikannya mengingat lagu adalah ungkapan
hati.
Berikut lirik lagu yang membuat
saya berkaca-kaca padahal siang itu, dermaga sedang riweh dengan suara
soundman yang mempersiapkan pertunjukan dangdut untuk malam hari.
Pada Indonesia bangsa yang besar
Jutaan jiwa-jiwa di neg’ri ini
Yang menantikan
Kes’lamatan dari pada-Mu
Reff :Kau terlebih rindu
Kau terlebih rindu
Kau terlebih rindu
Kau terlebih rindu
Untuk tegakkan kebenaran-Mu
Bagi bangsaku di atas Indonesia
Tuhan, ini diriku
Inilah diriku
Tuhan ini doaku
Inilah doaku
Pakailah aku jadi alat-Mu
Bagi bangsaku
Demi kemuliaan-Mu
Sumber : niahutajulu