Sepotong Keindahan Laut Pulau Pramuka |
Perairan Pulau Pramuka lagi. Begitu
pikir saya ketika ada ajakan untuk melakukan kegiatan menyelam di akhir
pekan ini. Tanpa pikir panjang, saya mengiyakan ajakan tersebut.
Alasannya adalah karena sudah sekian lama saya sudah tidak menyelam
semenjak penyelaman saya yang terakhir yang juga di perairan Pulau
Pramuka, Kepulauan Seribu (baca : Sepotong Keindahan Laut Pulau Pramuka 1), beberapa bulan silam. Selain itu, adanya rencana akan mengunjungi sebuah spot kapal karam membuat saya bertambah semangat.
Seperti
biasanya, pagi itu, pelabuhan rakyat di Muara Angke begitu ramai.
Perbaikan bangunan pasar masih berlangsung dan bau amis ikan tak pernah
berubah. Di jalanan yang becek serta lorong sempit, berlalu lalang para
abk dan kuli angkut serta para wisatawan yang akan berlibur akhir pekan
di pulau-pulau Kepulauan Seribu, termasuk rombongan saya.
Dipayungi
langit yang cerah, kapal yang mengangkut saya perlahan dan pasti mulai
meninggalkan Teluk Jakarta yang airnya kehitaman. Saya lebih banyak
tidur selama perjalanan menuju Pulau Pramuka dan sempat terbangun ketika
berlabuh di dermaga Pulau Pari. Hanya di Pulau Pari kapal yang saya
tumpangi ini sempat berlabuh untuk menurunkan penumpang. Tumben,
biasanya kapal yang menuju Pulau Pramuka biasanya hanya singgah di Pulau
Untung Jawa saja.
Menjelang
tengah hari, barulah kapal yang saya tumpangi tiba di dermaga Pulau
Pramuka. Rombongan saya cukup banyak, terdiri dari beberapa orang dewasa
yang akan melakukan kegiatan menyelam serta beberapa anak kecil dan
para orang tua yang akan berwisata island hopping dan snorkling.
Beberapa rombongan wisatawan lain juga tampak turun di dermaga ini.
Sementara di salah satu ujung tepian dermaga, tampak rombongan penyelam
yang sedang berdiskusi dan menyiapkan peralatan, sepertinya rombongan
yang sedang mengambil sertifikasi selam. Memang, Pulau Pramuka dan
perairan di sekitarnya ini adalah tempat terdekat dari Jakarta yang
seringkali digunakan sebagai tempat berlatih selam bagi mereka yang
tinggal di ibukota.
Dive Center Elang
Ekowisata di Pulau Pramuka kembali kami gunakan jasanya dalam
penyelaman ini, dari penyewaan peralatan sampai pengisian udara pada
tabung. Usai makan siang, para penyelam dari rombongan saya pun mulai
bergerak menuju ke perairan sebelah barat Pulau Pramuka, kurang lebih 3
kilometer di sebelah barat laut Pulau Karya.
Spot
penyelaman pertama ini bernama Tanjung Penyu, karena di tempat inilah
biasanya para penyelam sering bertemu dengan penyu, biasanya adalah
penyu hijau. Saya mulai mempersiapkan peralatan. Kali ini saya lebih
waspada untuk membedakan antara tombol inflate (mengisi udara) dan deflate (mengeluarkan udara) pada Buoyancy Compensator Device (BCD) yang saya gunakan. Saya tidak ingin terjadi kesalahan yang bisa mengacaukan bouyancy (faktor naik dan turun dalam air) ketika melakukan penyelaman di dalam air nantinya.
Doni, seorang rekan perjalanan, dan Bang Sarwo, pelatih saya, adalah yang menjadi buddy
saya pada penyelaman kali ini. Kedalaman yang disepakati adalah 18
meter dengan arah penyelaman mengikuti arus selama maksimal 60 menit.
Area penyelaman berupa lereng yang tidak terlalu terjal dengan gugusan
terumbu karang yang cukup rapat. Beberapa penghuni laut berseliweran di
sekitar saya. Kala itu jarak pandang untuk wilayah perairan Kepulauan
Seribu mungkin sekitar 5 – 10 meter. Beberapa ganggang dan kipas laut
yang besar tumbuh di sela-sela bebatuan. Sementara penyu hijau yang
katanya sering ditemui di spot ini belum saya lihat sama sekali. Hanya
beberapa menit sebelum naik ke permukaaan, barulah seekor penyu hijau
melintas dan berenang pelan searah dengan saya.
Penyelaman kedua kami lakukan di spot Karang Sempit setelah melakukan surface interfal
selama satu jam di Pulau Semak Daun, sebuah pulau kecil yang berada di
sebelah barat daya Pulau Karya. Karang Sempit juga masih terletak di
sebelah barat dan barat laut Pulau Karya. Sesuai namanya, spot ini
memiliki terumbu karang yang rapat dan cenderung mendatar dengan
banyaknya cerukan-cerukan sempit di kedalaman 15 meter. Kehidupan bawah
air dan jarak pandang di spot ini juga tidak berbeda dengan spot
sebelumnya. Clown fish, nudibranch, gerombolan angel fish, serta sekali dua kali berpapasan dengan lion fish di sela-sela karang. Setelah 45 menit di dalam air, kami pun naik kembali ke atas perahu untuk kembali ke Pulau Pramuka.
Suasana
malam di pantai barat Pulau Pramuka begitu ramai ketika kami menikmati
santap malam. Beberapa wisatawan mancanegara tampak asyik berjoget di
halaman sebuah penginapan, tak jauh dari penginapan tempat saya
bermalam. Sementara dari organ tunggal di sebuah panggung mini yang ada
di sana, mengalun sambung-menyambung musik dangdut dengan lagu-lagu yang
saat ini sedang populer seperti iwa peyek dan cinta satu malam.
Tiba-tiba saya ikut bangga juga bahwa musik dangdut yang cenderung
terlihat sebagai hiburan masyarakat pinggiran ternyata disukai dan
begitu dinikmati oleh wisatawan-wisatawan dari luar tersebut.
Pagi di hari kedua di Pulau Pramuka, kami mulai menyiapkan kembali peralatan selam dan menaikkannya ke dalam perahu. Briefing
kami lakukan di atas perahu ketika perahu mulai melaju menuju spot
berikutnya, Poso Wreck. Spot ini adalah spot penyelaman yang di dalamnya
ada bangkai Kapal Poso dan terletak sekitar belasan kilometer di
sebelah utara Pulau Pramuka. Tidak adanya pulau-pulau di sekitar Poso
Wreck membuat spot ini berada di perairan yang lebih terbuka. Otomatis
hal ini menyebabkan gelombang laut di permukaan lebih besar, sekitar 1 –
1,5 meter.
Hanya gugusan batu yang
memanjang dangkal ke permukaan membuat deburan-deburan ombak pantai yang
terlihat ketika perahu mulai mematikan mesinnya. Kami mencari-cari
penanda lokasi entry point selama beberapa menit sampai lokasi
tersebut ditemukan. Dan selama beberapa menit itu pula goyangan perahu
membuat kepala saya pusing pertanda mabuk laut. Untuk perahu kecil yang
berhenti, tentu saja permukaan laut seperti ini membuat goyangan di atas
perahu makin menjadi-jadi. Untuk entry point menyelam dengan gelombang yang besar, penyelam biasanya memakai BCD dan beberapa peralatan lain di atas permukaan air, bukan di atas perahu.
Setelah berjuang memakai BCD dan weight belt
dalam hantaman gelombang dan kepala pusing, akhirnya kami semua turun.
Beberapa meter setelah turun di bawah permukaan air, perlahan-lahan
gelombang yang menghantam-hantam mulai terasa menghilang. Sebuah tali
tambang penanda dari lokasi entry point kami ikuti ke bawah menuju
hamparan terumbu karang di kedalaman 15 meter. Dari kedalaman 15 meter
tersebut, tambang membentang miring menjauh dari bebatuan dan terumbu
karang, menuju ke bawah lebih dalam lagi. Kami mengikuti arah tambang
tersebut. Terumbu karang mulai menghilang digantikan lereng pasir yang
terjal. Perairan pun menjadi sedikit lebih gelap.
Setelah
belasan meter berenang mengikuti tambang, samar-samar di ujung tambang
mulai terlihat onggokan batu karang, itulah bangkai Kapal Poso.
Kedalaman di titik tertinggi Kapal Poso ini tercatat 30 meter pada
altimeter saya. Sedangkan dasar kapal atau titik terendahnya mungkin
sekitar 10 – 15 meter lagi ke bawah. Ini adalah penyelaman terdalam saya
sampai saat ini dari penyelaman-penyelaman yang pernah saya lakukan.
Kami tidak menuju dasar kapal, hanya berenang mengelilingi lambung kapal
melihat kehidupan yang ada di bangkai kapal ini. Jika dibandingkan
dengan spot-spot lain di perairan Pulau Pramuka di kedalaman belasan
meter, ikan-ikan di Poso Wreck ini ukurannya lebih besar. Ganggang laut
dan beberapa kipas laut juga saya lihat tumbuh di sisi-sisi luar kapal.
Kami
hanya sebentar di kedalaman 30an meter ini, mungkin kurang lebih 10
menit. Kami kembali berbalik menyusuri tali tambang. Di kedalaman 15
meter, tali mulai kami tinggalkan. Kami menyusuri lagi terumbu karang
melihat-lihat keindahan bawah laut spot ini sambil perlahan-lahan
mengurangi kedalaman. Mencapai kedalaman 5 meter, barulah kami melakukan
safety stop selama 15 menit. Safety stop adalah
berhenti di kedalaman tertentu untuk menetralisir kadar nitrogen di
dalam tubuh, bagian dari udara yang tidak digunakan oleh tubuh. Semakin
dalam kita menyelam, semakin besar kemungkinan kita keracunan nitrogen.
Diperlukan perhitungan yang cermat dalam menentukan safety stop
atau mengontrol kecepatan naik ke permukaan, begitu juga kecermatan
dalam merencanakan kegiatan menyelam, semua itu adalah untuk mendapatkan
kegiatan menyelam yang tetap aman.
Di atas permukaan Poso Wreck ini, gelombang laut kembali menghantam. Melepaskan weight belt, BCD, dan fin
merupakan perjuangan tersendiri. Akhirnya setelah semua kembali ke atas
perahu, kami pun kembali menuju Pulau Pramuka. Dalam perjalanan,
kawanan lumba-lumba terlihat ikut berenang beberapa meter di samping
perahu kami. Cukup menakjubkan juga penyelaman di Poso Wreck ini bagi
saya.
Charly, rekan saya yang
beberapa minggu sebelumnya menyelam di Poso Wreck pernah melihat ikan
hiu paus berukuran sekitar 7 meter di lokasi ini. Hiu paus atau whale shark
merupakan spesies ikan terbesar yang biasa dijumpai di perairan tropis.
Ia bisa mencapai panjang 13 meter dengan berat mencapai 21 ton. Di
Indonesia, ikan ini seringkali ditemui di perairan Nabire, Irian Jaya.
Walaupun sebagai hiu terbesar, hiu paus ini hanya memakan phytoplankton sehingga ia bukanlah bertipe pemangsa.
Penyelaman
keempat kami lakukan setelah istirahat dan makan pagi. Penyelaman
keempat ini bisa dibilang memiliki tingkat kesulitan paling rendah dari
tiga penyelaman sebelumnya. Lokasinya berada beberapa ratus meter di
sebelah timur laut Pulau Karya dan sering disebut sebagai spot Karya
Island Reef. Karena penyelaman sebelumnya di Poso Wreck adalah
penyelaman yang cukup dalam, maka kali ini penyelaman dilakukan maksimum
selama 30 menit di kedalaman maksimum 10 meter. Beberapa beton yang
disusun sedemikian rupa untuk tempat hidup karang ada di sekitar entry point
spot ini. Kehidupan laut di dalamnya juga tak begitu berbeda. Ketika
menyelesaikan penyelaman dan kembali ke permukaan, tanpa disangka,
ternyata saya sudah berada di tepi dermaga Pulau Karya.
Akhirnya,
lewat tengah hari setelah berkemas membereskan peralatan di Pulau
Pramuka, kami pun mulai menaiki kapal untuk kembali menuju Jakarta.
Penyelaman saya kali ini di perairan Pulau Pramuka ternyata cukup
mengesankan.
Tulisan oleh I Komang Gde Subagia
Foto oleh Dwi Wahyu Lestariningsih
Foto oleh Dwi Wahyu Lestariningsih
Sumber : astacala