Pulau Kelor Terlihat dari Kejauhan |
Berangkat dari Muara Kamal
Pagi
itu, saya telah berada di Pelabuhan Muara Kamal, Penjaringan, Jakarta
Utara untuk memulai perjalanan menuju Taman Arkeologi Onrust. Pelabuhan
Muara Kamal adalah pelabuhan dengan jarak terdekat yang bisa digunakan
untuk menuju pulau-pulau bersejarah ini selain dua pelabuhan lainnya di
Teluk Jakarta, Pelabuhan Muara Angke dan Pelabuhan Marina Ancol.
Pelabuhan
Muara Kamal ini memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda dengan
Pelabuhan Muara Angke, yaitu pelabuhan rakyat dengan adanya pasar dan
tempat pelelangan ikan. Sebagian besar jalan di tempat pelelangan ikan
yang menuju pelabuhan tergenang air laut. Bau amis ikan tentu saja tak
bisa ditolak. Pedagang ikan dan buruh-buruh angkut hilir mudik di ujung
jalan menuju Rumah Pak Haji Pare, tempat pertemuan saya dengan
rekan-rekan perjalanan dari Komunitas Historia Indonesia. Perahu-perahu
nelayan bersandar di tepian muara Kali Angke, kali yang airnya kehitaman
yang berakhir di pelabuhan ini. Di tepian kali, jembatan-jembatan bambu
yang terlihat rapuh menghubungkan perahu-perahu nelayan dengan daratan.
Sementara satu dua pohon bakau menyembul di seberang sisi lain lengkap
dengan pemandangan beberapa ekor burung bangau yang mengais-ngais
mencari makanan di sampah-sampah yang terapung.
Menuju Pulau Kelor
Pulau
pertama yang menjadi tujuan kami adalah Pulau Kelor, pulau kecil yang
sesuai namanya diibaratkan selebar daun kelor. Perairan di Teluk Jakarta
pagi itu tenang. Air laut masih kehitaman walaupun perlahan-lahan mulai
menjernih ketika perahu makin melaju menjauhi pantai. Perahu nelayan
yang membawa saya menuju Pulau Kelor ini ukurannya cukup besar dan dapat
menampung penumpang sampai 30 orang, tetapi pergerakannya sangat
lambat. Bagang-bagang ikan bertebaran di mana-mana, seperti pepohonan
mati yang meranggas tumbuh dari dalam laut. Sebuah sampah plastik sempat
tersangkut di baling-baling perahu yang saya tumpangi, pertanda
sampah-sampah masih banyak bertebaran di perairan Teluk Jakarta ini.
Kurang lebih 30 menit kemudian, perahu pun menepi di pantai berpasir
putih Pulau Kelor.
Pulau
Kelor yang sebenarnya dulu dinamai sebagai Pulau Kherkof ini adalah
pulau yang paling memiliki ciri khas dibandingkan pulau-pulau di
sekitarnya. Sebuah benteng yang tersusun dari batu bata merah berdiri
gagah di pulau tersebut, tegak menantang menghadap laut ke semua sisi.
Beberapa beton pemecah ombak untuk menahan abrasi terlihat terpancang di
tepian pulau ini. Pepohonan, semak-semak, dan rumput-rumput liar
mendominasi sisi selatan pulau yang saat ini luasnya tak lebih dari satu
hektar.
Pulau Kelor juga merupakan
sebuah pulau kuburan. Banyak tahanan politik di masa kolonial Belanda
yang dihukum mati di penjara Pulau Cipir dan Pulau Onrust dikuburkan di
Pulau Kelor ini. Begitu juga dengan tawanan-tawanan yang sakit dan
meninggal, sebagian besar dikuburkan di pulau kecil ini. Seekor kucing
saya lihat menjadi penghuni tetap pulau. Sepertinya kucing ini dibawa
oleh seorang pengunjung pulau dan bisa bertahan hidup dari sisa-sisa
ikan para pemancing yang singgah.
Benteng
di Pulau Kelor adalah benteng Martello, yaitu sebuah benteng berbentuk
lingkaran yang dibangun untuk tujuan pertahanan militer. Disusun
beberapa lapis dan terdiri dari beberapa ruangan dengan fungsinya
masing-masing. Di salah satu tingkatnya merupakan tempat meriam yang
bisa berputar 360 derajat untuk menembak kapal-kapal musuh. Benteng ini
dibangun dari bata merah yang kuat dan konon sangat kokoh untuk menahan
tembakan meriam dari luar.
Saat ini,
benteng Martello di Pulau Kelor hanya tersisa lapisan dalamnya saja.
Benteng aslinya sebenarnya berdiri lebih lebar lagi. Beberapa puing
pondasi lapisan luar dari benteng ini terlihat teronggok dan telah
terendam air laut di tepi pantai. Benteng ini hancur disebabkan oleh
tsunami Gunung Krakatau di abad ke-19 dan peperangan-peperangan yang
pernah terjadi di perairan Teluk Jakarta. Selain itu abrasi yang makin
hari makin mengancam juga menjadi musuh utama yang sangat berbahaya
untuk memusnahkan pulau bersejarah ini. Di lain pihak, kurangnya
perhatian pemerintah akan warisan arkelogi dan rendahnya kesadaran
pengunjung juga menjadi senjata bunuh diri yang handal.
Jika
kita berjalan berkeliling melihat isi benteng dan pulau ini, lihat saja
keadaannya : sangat menyedihkan. Kondisinya tidak terawat, beberapa
batu batanya sengaja dibongkar untuk membuat tungku perapian bagi para
pemancing yang bermalam, paku-paku dan kayu-kayu kecil tertancap di
dinding-dindingnya sebagai tempat menggantungkan kantong-kantong plastik
dan pakaian, sampah-sampah dan coretan di mana-mana. Saya jadi
membandingkan benteng ini dengan benteng atau kastil di Tanah Inggris
yang pernah saya lihat di film-film, sungguh jauh berbeda.
Pulau Berikutnya, Pulau Cipir
Dari
Pulau Kelor, kami beranjak menuju Pulau Cipir atau Pulau Kuijper. Pulau
ini disebut juga sebagai Pulau Kahyangan. Berbicara tentang Pulau
Cipir, kita tidak bisa melepaskannya dari Pulau Onrust. Letak kedua
pulau ini berdekatan, dan Pulau Cipir merupakan pulau penyangga dari
Pulau Onrust yang berfungsi sebagai pulau utama.
Di
masa-masa awal, antara abad ke-17 sampai abad ke-19, Pulau Cipir
difungsikan sebagai gudang-gudang penyimpanan barang yang dihasilkan dan
diproses di Pulau Onrust. Bangunan-bangunan di Pulau Cipir ini pernah
mengalami kehancuran beberapa kali. Kehancuran itu disebabkan oleh
adanya pertempuran ketika Inggris merebut Batavia dari tangan
Belanda-Perancis (baca : Jejak Perang Napoleon) di tahun 1811, gelombang tsunami karena letusan Gunung Krakatau di tahun 1883, serta penyerbuan Jepang di tahun 1942.
Beberapa
tahun pulau ini sempat terbengkalai semenjak serbuan Inggris dan
tsunami Krakatau sampai Belanda mulai memfungsikannya kembali. Sebuah
stasiun pengamat cuaca dibangun untuk mendukung jalannya roda
kolonialisasi. Kemudian Pulau Cipir ini (bersama Pulau Onrust) juga
dijadikan sebagai rumah sakit dan tempat karantina haji pada selang
waktu tahun 1911 – 1933. Reruntuhan bangunan rumah sakit inilah yang
mendominasi isi dari pulau Cipir ini.
Ketika
saya berkeliling di pulau ini, beberapa benda peninggalan sejarahnya
masih terlihat jelas. Sebuah meriam peninggalan Belanda dari masa 1800 –
1810 saya jumpai teronggok dan berkarat. Begitu juga sebuah sumur
artesis asebagai sumber air tawar di pulau ini tampak masih berfungsi
walaupun kondisinya seperti kakus tak terawat.
Pulau Onrust, Pulau Tanpa Istirahat
Menjelang
siang, kami beranjak meninggalkan Pulau Cipir menuju Pulau Onrust,
pulau yang berarti pulau tanpa istirahat (berasal dari kata un dan rest).
Jarak dari Pulau Cipir ke Pulau Onrust sebenarnya tidak terlalu jauh.
Malah, masih ada sisa timbunan beton memanjang yang menghubungkan kedua
pulau ini membentuk sebuah jembatan sampai di selatnya yang terdalam.
Untuk kemudian di selat yang dalam tersebut -yang lebarnya sekitar
belasan meter- dulu dihubungkan oleh jembatan ponton, jembatan terapung
yang terbuat dari kayu-kayu yang disusun di atas drum.
Hanya
beberapa menit yang kami butuhkan untuk menyeberang dari Pulau Cipir ke
Pulau Onrust. Di pulau inilah terdapat sebuah pos pariwisata yang bisa
kita dapatkan brosur-brosur tentang Taman Arkeologi Onrust. Sebelum
dikuasai oleh Belanda dan menjadi pulau tanpa istirahat, pulau ini
adalah pulau tempat peristirahatan raja-raja Banten. Pulaunya yang sejuk
dan banyak pepohonan rindang membuat para petinggi Kerajaan Banten
menyukainya.
Setelah dikuasai oleh
Belanda, mulailah pulau ini menjadi pulau tanpa istirahat. VOC sebagai
perusahaan dagang Belanda menjadikan pulau ini sebagai tempat galangan
kapal yang ditunjang dengan berbagai infrastruktur yang dibangun dari
waktu ke waktu seperti dermaga, benteng, gudang mesiu, pabrik
penggergajian kayu, dan lain-lain. Segala aktivitas bongkar muat barang
dan galangan kapal terjadi tanpa henti di pulau ini.
Seperti
pulau-pulau bernilai arkeologis lainnya di Teluk Jakarta,
peninggalan-peninggalan di Pulau Onrust ini juga tidak terawat.
Kurangnya penghargaan dari kita terhadap peninggalan sejarah melengkapi
kehancurannya yang disebabkan oleh tsunami Gunung Krakatau (1883) dan
peperangan di masa penyerbuan Inggris (1811) maupun pendudukan Jepang
(1942). Selain itu abrasi pantai juga menjadi ancaman yang besar bagi
pulau kecil ini yang ketinggiannya tidak lebih dari 5 mdpl.
Berkeliling
di pulau ini, kembali saya melihat sisa-sisa bangunan rumah sakit dan
tempat karantina haji, melihat makam Kartosuwiryo sang pemimpin
pemberontakan DI/TII, makam-makam para korban pemberontakan Kapal Zeven
Provincien (pemberontakan para pekerja kapal yang pernah terjadi di
pulau ini), makam-makam orang Belanda yang terkena penyakit tropis,
adanya sumur artesis air tawar, pondasi dari reruntuhan benteng
Martello, serta beberapa meriam peninggalan Belanda.
Di
Pulau Onrust ini, secara mengejutkan saya bertemu dengan orang-orang
dari Suku Dayak Hindu Budha Bumi Sagandu. Orang-orang yang memiliki
salah satu kepercayaan lokal nusantara dan kearifan lokal tersendiri
yang berasal dari Indramayu. Mereka tampak mencolok dengan celana hitam
putih tanpa baju, rambut-rambut gondrong dengan kalung dan gelang
sebagai hiasan tubuh. Mereka sedang mencari batu-batu manik di pulau
ini. Saya sempat berbicara dengan salah seorang tetuanya tentang
kehidupan mereka. Walaupun ada kosakata agama di nama sukunya, mereka
bukanlah penganut agama mana pun yang diakui di Indonesia. Dengan tenang
ia berbicara tentang konsep alam semesta dan manunggaling kawulo gusti, sedikit mengalihkan fokus saya dari penelusuran sejarah ke perenungan-perenungan spiritual.
Asal Mula Gelar Haji
Saya
memang tidak pernah mendengar nama orang dengan gelar haji selain di
Indonesia. Asep Kambali, ketua Komunitas Historia Indonesia mengatakan
bahwa hanya di Indonesia gelar haji itu digunakan oleh mereka yang telah
menunaikan ibadah ke tanah suci Mekah. Bagaimana itu bisa terjadi?
Pulau Onrust dan Pulau Cipir adalah salah satu kunci untuk mencari
jawabannya. Lihat saja sisa-sisa reruntuhan di kedua pulau tersebut,
sebagian besar adalah sisa-sisa tempat karantina haji.
Pulau
Onrust dan Pulau Cipir digunakan sebagai tempat karantina haji dari
tahun 1911 – 1933. Ide karantina haji yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial Belanda merupakan suatu sikap kekhawatiran yang tinggi terhadap
meluasnya gerakan Pan-Islam yang lahir di Timur Tengah. Biasanya
orang-orang yang pergi melaksanakan ibadah haji akan bertahan di Tanah
Arab paling sedikit 3 bulan. Kesempatan itu digunakan untuk belajar
agama kepada ulama-ulama terkemuka. Munculnya gerakan Wahabi dan ide
Pan-Islam yang menentang penjajahan dari orang non Islam akan memberi
dampak pada militansi mereka yang menunaikan ibadah haji.
Kekhawatiran
pemerintah kolonial Belanda itu ternyata berbuah nyata. Hampir semua
pimpinan perlawanan adalah mereka yang telah menunaikan ibadah haji.
Untuk mengawasi kegiatan orang-orang yang melakukan ibadah haji,
dibuatlah kegiatan karantina dengan alasan menjaga kesehatan. Pemerintah
kolonial Belanda memberikan cap kepada mereka yang pulang dari Tanah
Arab dengan kata atau gelar haji di depan nama orang tersebut, sebuah
gelar untuk membedakan dan mengawasi mereka yang disinyalir telah
terpengaruh oleh gerakan Wahabi atau Pan-Islam.
Catatan Tambahan : Pulau Bidadari dan Pulau Edam
Selepas
istirahat makan siang di Pulau Onrust, rombongan perjalanan susur
pulau-pulau bersejarah ini terbagi dua. Satu kembali pulang menuju
Pelabuhan Muara Kamal, satu lagi melanjutkan perjalanan ke Pulau
Bidadari. Saya dan beberapa rekan perjalanan memutuskan untuk tidak ikut
serta ke Pulau Bidadari.
Pulau
Bidadari merupakan salah satu pulau yang masuk ke dalam kawasan Taman
Arkeologi Onrust. Pulau Bidadari adalah pulau pribadi yang ditujukan
sebagai tempat wisata. Sehingga jangan heran kalau di pulau ini ada
banyak vila dan fasilitas wisata. Di Pulau Bidadari juga akan ditemukan
beberapa sisa peninggalan sejarah, salah satunya adalah reruntuhan
benteng Martello.
Kemudian, jika kita
melihat peta Kepulauan Seribu, lebih jauh ke timur di Teluk Jakarta,
ada sebuah pulau bersejarah lagi yang dinamai Pulau Edam, atau biasa
juga disebut sebagai Pulau Damar. Sebuah buku Mereka yang Dilumpuhkan
karya maestro Pramoedya Ananta Toer menggambarkan kehidupan para
tawanan Belanda di pulau ini pada masa-masa awal kemerdekaan Republik
Indonesia. Sebuah mercusuar peninggalan Belanda juga berdiri gagah
menjadi daya tariknya. Tetapi pulau ini bukan bagian dari Taman
Arkeologi Onrust. Dan sayang juga, kami tidak berkesempatan untuk
mengunjunginya.
Prediksi di Masa Depan
Melihat
kondisi kenyataan akan tempat-tempat bersejarah di Indonesia, kita akan
tahu bahwa kita sangat jauh tertinggal dalam menghargai dan belajar
dari masa lalu dibandingkan negara-negara lain yang dikenal. Namanya
saja pulau-pulau di Taman Arkeologi Onrust ini dilindungi dan dikelola
oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, tapi saya tak melihat
perlindungan dan pengelolaan tersebut dengan lebih nyata selain adanya
biaya tiket masuk dan brosur informasi seadanya.
Siang
yang bertambah terik dan gelombang laut yang mulai meninggi, perahu
kami mulai melaju menuju Muara Kamal. Terlintas tentang berita-berita
terkait meningginya permukaan air laut dari waktu ke waktu, pulau-pulau
kecil termasuk di Kepulaun Seribu konon katanya bisa hilang dalam kurun
waktu 40 tahun ke depan. Kita sebagai pewaris peninggalan sejarah
bangsa, maka kita inilah yang wajib menyikapi hal-hal seperti itu, mau
menjadi pesimis atau menjadikannya sebagai cambuk pelecut untuk bisa
berbuat lebih baik lagi.
Tulisan dan Foto oleh I Komang Gde SubagiaSumber : astacala.org