Kali ini anak Gunung main ke pantai. Awalnya agak
rempong dengan berbagai pertanyaan “duh bawa apa aja yah, ntar kita
nyemplung ngga, pake celana panjang apa pendek, bawa logistik apa beli
disana.” Akhirnya kita berangkat seperti naik Gunung aja, bawa tenda,
logistik, dan lainnya. Karena emang ini rencana gw sama Catur yg uda
sakau banget mau nenda, dan terpilih lah Pulau Pari sebagai tujuan kita.
Perjalanan kali ini bareng Catur, Ambar, Arie, dan Tejo. Dengan meeting point di
Museum Bank Mandiri kami lanjut naik taxi menuju Pelabuhan Kali Adem.
Suasana siang itu cukup panas dan ramai, karena pas kita datang antrian
untuk beli tiket speedboat sudah panjang tapi beruntung tujuan kami Pulau Pari jadi ga terlalu banyak yg kesana.
Dermaga Kali Adem
Dermaga Pulau Pari
Sekitar jam 1 siang speedboat pun melaju, Arie nampak pucat karena memang baru kali ini dia melakukan perjalanan diatas laut. Sebenarya lebih seru naik speedboat daripada
naik kapal nelayan, selain lebih nyaman dan cepat, guncangan kapal juga
bikin serem. Dan setibanya di Pulau Pari kami langsung menuju Pantai
Perawan untuk gelar tenda, tapi sebelumnya kami harus minta izin dulu ke
Pak Khalil si penjaga pantai. Siang yg panas membuat kami berburu
apapun yg mengandung es, tapi sayang sekali disana warungnya kurang
mendukung.
Sampai dipantai sepi banget, panas, dan benar-benar
nyaman banget. Oh ya, dari dermaga jarak ke Pantai Perawan cukup jalan
kaki saja 10 menit sudah sampai. Jangan harap disini ada kendaraan umum
yah, karena mayoritas transportasi hanya pakai sepeda. Kata pak Khalil
baru saja semalam ada yg camping juga tapi mereka uda pulang,
ya ketahuan sih seperti habis ada tanda api unggun. Suasana pantai ini
asik, sepi, airnya tenang, dan sejauh mata memandang dipenuhi dengan
tumbuhan bakau. Langsung saja kami nimbrung pak Khalil yg sedang
menyiapkan bakau yg akan ditanam. Pasang hammock ditambah playlist di HP Ari memutarkan lagu-lagu jadul. Galau siang-siang pun dimulai
Sambil ngobrol dan belajar tentang penanaman bakau
sama Pak Khalil, tenda pun mulai dipasang. Tapi cuma sebagai tempat tas
doang, karena kami lebih memilih tiduran langsung diatas pasir. Selesai
itu langsung deh masak-masak karena kami sudah kelaperan semua, hehe.
Dan Pak Khalil yg baik itu mengijinkan kami memakai sampannya untuk
sekedar keliling Pulau. Kami ber-5 naik ke sampan dan dayungnya berupa
bambu panjang, Ari nih kebagian tugas ngedayung. Tapi kok sampannya ga
gerak-gerak yah? Hahaha. Karena perairan Pantai Perawan ini cukup
dangkal, walaupun sudah ditengah laut kami semua turun dan ternyata
kedalamannya cuma se-dengkul doang. ”Halah, tadi aja ga usah pake sampan
segala, ribet, jalan kaki juga bisa” Ambar pun berkoar. Foto-foto
ditengah laut dengan sampan sebagai aksesorisnya, akhirnya kami balik
lagi ke daratan dengan sampannya di dorong-dorong bukan didayung.
Hahaha, aneh!!!
Lelah dikerjain sama sampan akhirnya kami melanjutkan untuk berburu sunset yg
adanya di ujung tempat LIPI. Jalan kaki dari ujung ke ujung lumayan
juga ternyata, dan kami meninggalkan tenda dan barang-barang lainnya,
karena di Pulau ini aman pemirsah. Sepanjang jalan menuju LIPI kami
tetap mencari sesuatu yg bisa bikin tenggorokan segar, akhirnya nemu
juga minuman yg lumayan dingin lah. Nah, keberadaan LIPI ini adanya
diujung barat dan terpencil karena memang sangat privacy. Tapi sayang
pantainya kotor, seperti tempat pembuangan sampah, parah bgt deh
kotornya. Disana ada semacam dermaga itu dan pemandangannya ke laut
lepas, terlihat juga Pulau disebelah yg sedang dibangun, konon katanya
punya salah satu cucunya mantan Presiden kita. Daaan, menikmati
detik-detik sunset ini rempong, foto dengan berbagai macam gaya dan
posisi sudah, merekam kegiatanlewat video sudah, tinggal galaunya doang
yg belum
para pengejar sunset
Sunsetnya keren banget karena langsung laut lepas dan
tidak terhalang lagi oleh apapun, tanpa terasa matahari sudah hilang
dan kami harus kembali ke Pantai Perawan berjalan kaki ditengah
kegelapan malam. Kali ini baru terasa capeknya karena seharian kita
beraktifitas, lapar dan tentunya badan lengket karena belum mandi, hehe.
Sesampainya didekat salah satu rumah warga, kami
ketemu Pak Khalil dan dimarahi ”mba darimana, itu kok tendanya ditinggal
gitu aja, kalau disini ga boleh keluar malam-malam takut kenapa-kenapa”
langsung deh beberapa bapak-bapak nimbrung karena takut kami semua
kenapa-kenapa, dan akhirnya kita dianter menuju Pantai karena memang
jalanan gelap gulita. Haduh, jadi ga enak nih kita, udah badung di
daerah orang lain. Sesampainya di tenda kami langsung masak-masak, dan
si Pak Khalil dengan baiknya bikinin kita bivak semacam tenda gitu
karena memang tenda yg kami bawa hanya satu dan otomatis emang ga muat
juga sih. Duh, baik bener deh bapak ini, sudah tua tapi masih kuat bikin
bivak sendiri. Kita sempat kenalan juga sama Dimas, dia yg kemarin
camping juga dipantai, teman-temannya uda pulang jadi kita ajak Dimas
untuk gabung malam itu. Bikin api unngun didepan tenda, pasang hammock,
dan masak-masak, ahh seru banget lah. Suasana santai ini yg jarang
banget saya dapetin, dan di Pulau ini yg jaraknya cukup dekat dengan
Jakarta ternyata bisa jadi salah satu tempat nyaman. Dan tanpa sadar
sesi curhat pun mengalir begitu saja, walaupun malam itu tidak ada
bintang yg terlihat tai angin yg sepoi-sepoi cukup membuat suasana
galau.
Laut. Kalau saya pikir, laut ini salah satu tempat yg
paling bijaksana. Darimana air laut berasal? Yg saya tau itu dari got
yg airnya keruh, dari danau yg sekarang kebanyakan beralih jadi tempat
sampah, dari sungai yg airnya sudah tercemar, tapi laut? Laut lah yg
menampung itu semua. Dia yg memproses dan memerima kehadiran air-air yg
keruh tersebut menjadi satu. Menjadi air laut. Air yg jernih, kebiruan,
tidak ada noda lagi di air tersebut. Sama halnya dengan Tuhan. Dia mampu
menampung semua keadaan makhlukNya. Makhluk yg penuh dosa, hina, tapi
Tuhan mampu membuat makhlukNya bersih kembali. Membuat makhlukNya
kembali kepangkuannya dalam keadaan suci.
Ahh galau deh!!!
Ntah apa yg kami bahas malam itu, semuanya serba
disangkut pautkan. Sampai tibalah dimana mata tak sanggup lagi terbuka.
Pesta pun bubar. Saya dan Catur tidur di tenda, Ambar tanpa sadar
tertidur di hammock, Arie dan Tejo tidur di bivak, sedangkan Dimas
kembali ke tendanya yg ia dirikan di LIPI. Rasanya pulas sekali tidur
malam itu, tak terasa sinar matahari mulai tampak dari balik jendela
tenda. Karena untuk sunrise ya di Pantai ini lah letaknya, tapi saya
masih tetap tidur, hehe. Katanya sih Catur sama Tejo jalan-jalan pas
sunrise tapi mereka ga bangunin yg lainnya, huh payah! Nah si Ambar
langsung siap-siap pulang duluan karena dia langsung ada acara lagi,
jadi sisa kami ber-4 deh yg belum pulang.
Warga Pulau Pari ini sungguh welcome banget,
sampai pak RT setempat nawarin kita mandi dirumahnya. Ya karena memang
disini ga ada WC umum, masa iya kita ga mandi sih? Beruntunglah kami
dapat sambutan baik dari warga sekitar, kerena memang saya sebelumnya
pernah kesini juga sih. Siangnya kami ga ngapa-ngapain, cuma makan,
tiduran di hammock, dengerin musik, ya gitu aja terus sampai waktunya
pulang jam 2 siang.
Jam 1 kami sudah harus standby di dermaga
untuk antri speedboat juga. Tapi langit tampak berubah raut wajahnya.
Seketika langit jadi gelap gulita dan air laut ombaknya bergulung sampai
ketepi pantai. Dan benar saja, ketika speedboat nya datang ternyata
break sebentar sambil menunggu cuaca sedikit membaik. Arie uda makin
panik aja mukanya, haha. Di speedboat sudah penuh dgn wisatawan yg dari
Pulau Pramuka, dan kami duduk terpencar. Langsung dibagikan life jacket,
wah wahh alamat ga enak nih perasaan!!! Bener aja, ombak di perjalanan
pulang ini parah, berasa banget guncangannya, mual rasanya. Akhirnya speedboat bersandar
sejenak di Pulau Untung Jawa sambil menunggu cuaca sedikit membaik.
Dibalik jendela terlihat sebuah kapal nelayan yg oleng ke kanan dan ke
kiri, saya saja yg melihatnya ngeri, gimana yg didalam kapalnya ya?
Hihihii.
Perjalanan yg singkat, seru, dan menegangkan. Hmm, kapan yah nenda lg dipantai???
Sumber : ayurupawan