Elang itu akhirnya menyatu betul dengan alam. Di dahan sebatang pohon tinggi di Pulau Kotok di Taman Nasional Kepulauan Seribu, seekor elang bondol (Haliastur indus), mulai mengumpulkan ranting-ranting untuk membuat sarang.

Pada rabu pekan lalu, petugas rehabilitasi elang bondol di pulau itu menyaksikannya terbang bolak-balik ke dahan pohon sembari menggigit ranting di paruhnya. "Ini pertama kali terjadi," kata Femke den Haas, sosok yang terlibat dalam program rehabilitasi elang bondol itu, kepada Tempo kamis pekan lalu.

Elang bondol adalah maskot Jakarta. Tapi alih-alih melihatnya terbang di langit ibukota yang penuh polusi, elang itu malah menclok di tubuh bus-bus Transjakarta yang melintas di jalur-jalur Busway.
Bukan burung sebenarnya, melainkan lukisannya semata, dipasangkan dengan salak condet, maskot Jakarta yang lain.

Di Indonesia, populasi elang yang disebut juga Brahminy Kite ini tersebar di Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Pulau Jawa. Meski menjadi maskot ibukota negeri ini, sangat sulit-bila tak mau menyebut mustahil-menyaksikan elang ini terbang di langit Jakarta.

Tapi elang bondol bisa disaksikan di Kepulauan Seribu, meski populasinya tinggal 15 ekor berdasarkan survei 2004. Di kawasan ini, elang-elang itu hidup di Pulau Kotok dan Pulau Pramuka.

Pulau Kotok sekaligus menjadi pusat rehabilitasi elang bondol Indonesia. Di tempat ini elang hasil sitaan itu dilatih sebelum dilepaskan kembali ke alam bebas.

Elang-elang yang berasal dari pusat rehabilitasi di Pulau Kotok, membutuhkan waktu yang relatif lama untuk kembali berperilaku alami, misalnya menyambar ikan di permukaan laut dengan cakarnya yang tajam.

Setelah perilaku alami ini dikuasai, biasanya burung-burung akan dilepas ke alam. Mereka akan melakukan penguasaan teritorial lalu hidup di wilayah teritorinya.

Namun perilaku alami lain, seperti gelagat membuat sarang itu, baru kali ini terjadi semenjak program rehabilitasi dilakukan pada 2004 yang lalu. Femke belum berani mengatakan bahwa sang elang sudah benar-benar membuat sarang. Aktivitas sang burung masih akan terus dipantau.

Femke mengatakan bahwa aktivitas membuat sarang adalah proses menuju breeding alias berkembang biak. "Berarti si elang juga sudah menemukan pasangannya sendiri," kata, Femke, perempuan asal Belanda yang fasih berbahasa Indonesia ini.

Ini kasus yang jarang di tengah kondisi minimnya populasi elang itu di alam bebas. Ditambah lagi, proses perkembangbiakannya pun terbilang lambat. Di alam bebas, sang elang hanya bereproduksi sekali setahun, itupun hanya rata-rata hanya bertelur dua butir.

Di Pulau Kotok, para dokter hewan dan petugas rehabilitasi pun sulit mencomblangi burung-burung yang dipelihara dan dirawat di sana. Burung ini memang emoh kawin mawin di dalam kandang.

Proses ini semakin berat bagi burung-burung hasil sitaan yang direhabilitasi. Kebanyakan burung itu, kata Femke, sudah terlalu lama hidup dalam kerangkeng.

Selain perilakunya yang menyimpang, ada pula burung yang kondisi fisiknya buruk, seperti sayap yang terluka atau malah putus. Burung-burung itu membutuhkan waktu setidaknya tiga tahun untuk pulih kembali.

Namun si elang yang mulai mengumpulkan ranting itu, rupanya pulih lebih cepat. "Ini tanda keberhasilan program rehabilitasi elang bondol," kata Kepala Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, Sumarto, pada Sabtu lalu.

Sumarto mengaku sebelumnya tak pernah mendengar rehabilitasi itu berhasil membuat elang itu berperilaku benar-benar alami, seperti membuat sarang. "Yang artinya dia sudah berumah betul," ujarnya.

Si elang adalah hasil pelepasliaran yang dilakukan Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban pada Agustus, dua tahun yang lalu. Saat itu ada delapan ekor elang yang dilepas dari Pulau Kotok.

Kedelapan elang itu adalah hasil sitaan dari berbagai tempat, antara lain dari Bandara Sukarno-Hatta sebelum diselundupkan ke luar negeri, dari pasar burung, dan perumahan. Burung-burung itu lantas dirawat di Tegal Alur, Jakarta.

Setelah dirawat, burung-burung itu direhabilitasi di Pulau Kotok, yang berpadang lamun (sejenis rumput laut). Pulau ini juga mengandung banyak terumbu karang yang menjadi habitat ikan-ikan permukaan, makanan alami sang elang bondol.

Sumarto mengatakan, sejak program rehabilitasi di Pulau Kotok telah menerima 62 ekor elang bondol. Sebanyak 40 ekor di antaranya telah dilepaskan ke alam bebas.

Sebelum dilepas, elang-elang itu dilatih mencari makan secara mandiri maupun berperilaku alami lainnya. Pada awalnya mereka ditempatkan di kandang seluas 25 meter persegi dan "disuapi" makannya oleh petugas di sana.

Setelah itu burung-burung dipindahkan ke kandang yang lebih luas, berukuran sekitar 280 meter persegi di bibir pantai selatan Pulau Kotok. Burung-burung di kandang ini sudah berlatih terbang dan menyambar ikan hidup di permukaan air di tengah kandang.

Setelah dipastikan sanggup bertahan hidup di alam bebas, burung-burung itu pun dilepaskan. Program pelepasliaran ini sudah dilakukan sejak Agustus 2005 lalu.

Namun Sumarto memperkirakan, sejak program pelepasliaran dilangsungkan, elang bondol yang benar-benar masih berkeliaran dan mencari makan di sekitar Kepulauan Seribu tinggal 10 atau 11 ekor saja.

Sisanya, "Sudah keluar kepulauan atau malah ditangkap kembali oleh penduduk," kata Sumarto kepada Tempo di kantornya di Jakarta pada Sabtu lalu.

Sebanyak 10 atau 11 ekor yang hidup di Kepulauan Seribu, 4 ekor masih hidup di sekitar Pulau Kotok-termasuk si elang yang mulai bersarang--, 2 ekor di Pulau Pramuka, dan sisanya ada di pulau-pulau lain.

Itulah mengapa menurut Sumarto, aktivitas sang elang di puncak pohon itu telah menerbitkan harapan akan membaiknya populasi elang bondol. Darinya akan lahir generasi yang akan meramaikan langit Jakarta, bukan hanya jalan-jalan rayanya.(tempo/deddy sinaga)

Text Widget

Popular Posts

Recent Posts

Sample Text

Unordered List

Pulau Seribu