SOSOK bocah berkulit hitam, bermata besar, dan berambut ikal bermain bola dan sesekali berdialog dengan kawan-kawan sebayanya menggunakan bahasa Indonesia dengan aksen khasnya. Mereka adalah generasi tunas dari masyarakat pulau ini. Melihat postur mereka dan mendengar cara mereka berkomunikasi, serasa saya tidak berada di wilayah yang merupakan bagian dari pinggiran wilayah Jakarta. Rasanya seperti di daerah pesisiran di luar Pulau Jawa, di antara wilayah yang dikepung oleh lautan. Penglihatan saya terhadap bocah yang tinggal di Pulau Panggang dengan penduduk lebih dari 5.000 jiwa dan bagian dari pulau terpadat dari Kepulauan Seribu, membuka tabir pemikiran tentang identitas: Dari manakah mereka? Sejarah dan kebudayaan macam apakah yang hidup di Pulau Panggang ini?

Mereka menjuluki dirinya dengan sebutan “Orang Pulo”. Hidup dan bermata pencaharian dari alam lautan yang mengayomi mereka di antara wilayah Kepulauan Seribu. Dalam peta, kita bisa mencermati 1.100 gugusan pulau-pulau di antara laut yang membentang sepanjang 100 mil dari Teluk Jakarta.

“Sebenarnya, apa yang saya dapati, bahwa kondisi pulo itu yang dominan sekali penduduknya itu dari Banten, dari Kalimantan juga ada, dari suku Mandar. Itu yang betul-betul tinggal di sini pada awal mulanya,” ujar Amrullah, Pamong Kelurahan Pulau Panggang, mengungkapkan asal mula penduduk di situ.

Keberadaan Pulau Seribu yang dapat dicapai dengan jarak tempuh 1-3 jam oleh perahu motor dari Muara Angke, Jakarta, kerap dijadikan objek wisata oleh para turis, sebagaimana yang sedang digembar-gemborkan pemerintah. Di balik turisme, Pulau Seribu masih menyimpan potensi harta karun, yakni budaya hidup Orang Pulo.

Hasrat untuk mengungkap harta karun budaya tersebut ditangkap oleh Lab Teater Ciputat yang bekerja sama dengan Sanggar Apung (satu-satunya Sanggar Seni Teater di Pulau Panggang-Pramuka). Dibantu oleh organisasi HIVOS, mereka melakukan penelitian dan workshop tradisi Kepulauan Seribu. Maka terciptalah buku “Orang Pulo di Pulau Karang” dan dilanjutkan dengan pembuatan naskah yang akan dipentaskan secara teatrikal pada Juli 2012 dengan tentu saja melibatkan Orang Pulo.

“Bagaimana kita melihat kebudayaan Pulau Seribu secara bersama-sama? khususnya Pulau Panggang. Yang saya khawatirkan tidak akan lama lagi, jika wisatawan yang datang semakin banyak, kebudayaannya tidak terjaga. Setelah buku ini, akan lahir naskah pertunjukan yang akhirnya kembali kepada masyarakat. Ini sebagai bentuk kesenian yang membuat semuanya berharga di negeri ini,” tutur Bambang Prihadi, selaku Sutradara Lab Teater Ciputat.

Rosida Erowati Irsyad, penyusun dan peneliti buku “Orang Pulo di Pulau Karang” merasa tergelitik saat proses penulisan buku. Berkali-kali tokoh di Kepulauan Seribu selalu menyatakan bahwa Pulau Seribu itu tidak punya budaya. Setelah Rosida dan kawan-kawan peneliti merasakan tinggal, mereka menegaskan bahwa tentu saja kebudayaan di Kepulauan Seribu memang ada dan selalu berjalan.

“Di sini ada mitos, dan mitos ini sangat kuat dimiliki oleh setiap orang di pulau misal tentang mitos darah putih. Mitos merupakan bagian dari pola berpikir masyarakat, ini menjadi penanda identitas budaya. Lalu, yang kedua, jika bicara tradisi, Orang Pulo paling kuat dengan pencak silat yang mewarnai kehidupan masyarakat di pulau, khususnya Pulau Panggang, yang merupakan pulau dengan budaya yang paling lama hidup, dan silat ini membentuk mentalitas generasi muda. Lalu ada lenong ala Pulo yang sekarang sudah jarang disaksikan. Jadi, kata siapa Pulau Seribu itu tidak punya budaya?” ujar Rosida.

Mitos Pendekar Darah Putih 

Kisah Legenda Darah Putih sebagai folk history disajikan dengan berbagai versi yang berbeda. “Serombongan bajak laut datang ke salah satu Kepulauan Seribu. Para bajak laut itu merampas dan mengganggu penduduk setempat. Melihat kejadian itu, orang sakti penjaga pulau tak tinggal diam. Bersama warga, ia menangkap bajak laut. Mereka kemudian dihukum, tubuh mereka dipanggang di pinggir pelabuhan perahu. Sejak saat itu, pulau tersebut dinamakan Pulau Panggang. Saat ini tempat “pemanggangan” bajak laut yang ada di bagian Pulau Panggang dijadikan dermaga oleh penduduk setempat.”

Sedangkan kisah lain menuturkan, konon kabarnya di perairan Kepulauan Seribu berkeliaran para bajak laut yang selalu mengganggu kemanan dan ketenteraman penduduk. Pada suatu hari segerombolan bajak laut datang menghadang pulau panggang. Tetapi, atas kesaktian Darah Putih, maka para bajak laut tidak dapat melaksanakan niatnya karena sekeliling Pulau Panggang menjadi gelap gulita. Para bajak laut hanya dapat mencapai sebagian pulau, daerah sekitar Pulau Panggang saja. Oleh para bajak laut Pulau Panggang tampak tertutup dengan kabut dan terpaksa mereka kembali (kisah ini menurut Mutholib et al 1984. Laporan Arkeologi Bo XXIX, Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, H. 12-3.

Ini merupakan kisah turun-temurun antargenerasi. Orang Pulo mengenal kisah—Darah Putih dan Karang Pemanggang—secara turun-temurun. Beberapa generasi tahun 60-an, menceritakan kejadian angin kencang puting beliong (lesu angin) yang tiba-tiba datang saat pementasan drama Darah Putih yang disutradarai oleh Pak Darwis sekitar tahun 1980-an, sehingga pertunjukan harus dibatalkan. Sosok pendekar Darah Putih meninggalkan jejak makam kramat pulo yang dikenal dengan Makam Pendekar Darah Putih (PDP) dan diakui oleh pemerintah sebagai salah satu cagar budaya DKI Jakarta.

“Saya menjaga makam Pendekar Darah Putih dari tahun 1975. Dialah yang melindungi Pulau ini,” tutur Hajah Supena.

Sosok legendaris Darah Putih menjadi afiliasi dari sejarah perompakan dan bajak laut dengan pendekar yang melindungi pulau. Ketika masa itu, ini menjadi kiasan dari perang saudara di laut dan sejarah masyarakat Orang Pulo sebagai masyarakat laut yang menetap di pulau dan berusaha melindungi daerahnya dari ancaman.

“Keragaman versi ini sebagai kenyataan yang mencerminkan kuatnya kepemilikan Orang Pulo terhadap legenda mereka, dan kekukuhan mereka meyakini untuk memegang tradisi cerita Pulo. Munculnya versi dari suatu legenda jamak terjadi di banyak tempat dan ini selaras dengan yang disinyalir Danandjaja (Antropolog kondang-Red) tentang distorsi terhadap sejarah bersama,” ini petikan dari buku Orang Pulo di Pulau Karang.

Mitos Pendekar Darah Putih dan karang pemanggang turun-menurun dalam lintas generasi menjadi gambaran dari latar belakang sejarah Pulau Panggang yang masuk pada ranah kebudayaan. Termasuk dengan hadirnya Silat Alif, Mandar jurus pribadi dengan gerak silat dan rancak yang memukau.

“Silat mandar ini, turun-menurun sejak zaman nenek moyang. Hingga kini kami masih terus mengembangkannya. Sebenarnya kami punya banyak sekali aset budaya, yang sayangnya sedikit tersisih jika dibandingkan budaya di luar pulau,” ujar Djailing, pelatih silat mandar.

Ruwatan

Masyarakat Pulau Panggang juga memiliki adat kebiasaan yang disebut ruwatan, acara syukuran dengan menjalankan doa bersama di dermaga dengan mengorbankan kepala sapi atau kamping sebagai tumbal. Pada masa kini, ruwatan dengan tumbal hewan sudah jarang dilakukan dan digantikan dengan syukuran biasa.

Acara Haul Habib Ali bin Ahmad bin Zen Al Aidid dan Habib Hasan bin Hasyim Al-Aidid yang diselenggarakan besar-besaran sejak 10 tahun silam dan diikuti oleh 500 orang juga masih diselenggarakan masyarakat. Pada acara ini, ibu-ibu memasak makanan khas Kepulauan Seribu.

Di Pulau Panggang juga berdiri sanggar Apung sebagai yang menjadi komunitas dan memfasilitasi generasi muda untuk mengembangkan potensi berkesenian.

“Sanggar apung yang sudah berdiri empat tahun ini berawal dari budi daya ikan, lalu masuk ke ruang bermain kesenian dan direspons positif. Aktivitas kami seperti berkumpul, bernyanyi bersama, dan pelatihan bina rasa yang didukung Lab Teater Ciputat, juga pembuatan kerajinan tangan sebagai proses pembelajaran dan stimulus kreativitas,” ujar Hamdi M Husni, pendiri Sanggar Apung.

Bila dililhat dari sudut pemikiran modern (masa kini) mitos yang menjadi awal keberangkatan budaya di Kepulauan Seribu– khususnya Pulau Panggang-yang dikhawatirkan mengarah pada perilaku syirik (menduakan keberadaan Tuhan), tetapi jika mitos ini diberdayakan sebagai seni dan budaya, yang bentuknya bisa seni pertunjukan yang masuk secara lunak melalui media seni pertunjukan oleh komunitas Sanggar Apung, disokong tokoh-tokoh masyarakat dan dibantu pihak luar seperti Lab Teater Ciputat, kebudayaan ini akan berkembang, dan berinovasi menjadi fenomena menarik tanpa menghilangkan identitas Orang Pulo dengan nilai kolektivitas dan kekerabatan mereka yang erat.

Kepungan Globalisasi dan Modernisasi 

Keberadaan Kepulauan Seribu telah melewati lintas sejarah dari fase ke fase. Dimulai dari masa Kesultanan Banten pada Abad ke-16 dan awal kedatangan VOC tahun 1684 yang mengawali eksploitasi sumber daya laut untuk pembangunan Kerajaan Banten dan Kota Batavia (Jakarta saat ini).

Pada masa VOC tahun 1761, peta Belanda menandai adanya pulau-pulau di sekitar Pulau Panggang yang telah berpenghuni hingga pada masa Hindia Belanda. Dari mulai eksploitasi penambangan pasir laut dan batu karang, penangkapan ikan, hingga penanaman kopra dan kelapa. Masuk pada masa pemerintahan DKI Jakarta, dari tahun 1951 penangkapan ikan hingga era 1970-1999 menjadi bentuk pemerintahan kabupaten administrasi Kepulauan Seribu, dan era saat ini (1999-sekarang) pertumbuhan pariwisata yang pesat, dengan budi daya laut di dalamnya dari ikan hias, rumput laut, karang hidup, konservasi jasa dan pertambangan.

Posisi Pulau Panggang pada saat ini atau tepatnya Orang Pulo, terletak pada—pinggir transisi—- yakni menghadapi modernisasi. Pada pengertian ini, secara ekonomi Kepulauan Seribu diposisikan berbasis pariwisata dan rekayasa laut, yakni jasa layanan pariwisata, untuk menghidupkan ekonomi masyarakat dengan membentuk koperasi atau kerja sama untuk menghidupkan ekonomi nelayan, misal ada nelayan ikan hias, karang hias, pengolahan hasil laut.

“Jadi, apa yang kami saksikan dari masyarakat Pulo, mereka dapat mengingat dengan baik. Bila tahun 70-80-an ikan hias menjadi idola, tahun 90-an rumput laut yang menjadi idola. Lalu berubah hingga masa puncak yang saat ini adalah pariwisata dan tambak,” kata Rosida.

Masalah yang dialami Orang Pulo adalah berpusatnya ia pada Jakarta sebagai pusat kabupaten Kepulauan Seribu. Di mana Jakarta adalah kota megapolitan, sementara Kepulauan Seribu harus mengikuti gerak cepat mobilitas Jakarta dengan modernisasinya.

Orang Pulo tanpa disadari berada di tengah kepungan modernisasi dan globalisasi, dalam ranah sosial politik, ekonomi dan kebudayaan. Bila di Jakarta identik dengan pasar bebas, bisa jadi sama halnya dengan apa yang dirasakan Orang Pulo dengan globalisasi itu. Di sini terlihat pembangunan infrastruktur dari kebudayaan awal, rumah bilik menjadi tembok, lalu masuknya listrik yang sekarang menjadi 24 jam, hingga modernisasi pada eksploitasi karang dan pariwisata, juga kepemilikan pulau yang bisa disewa individu yang mampu, sehingga menyisihkan hak komunal.

“Bagi Orang Pulo, operasi kecil globalisasi, seperti pada karang, terumbu, dan pantai, ini dirasakan sebagai problem untuk masyarakat pulau panggang. Karena, ada ketidakseimbangan antara kekuatan yang satu dengan yang lain, dan kita harus merasakan keseimbangan kebudayaan, politik maupun ekonomi,” tutur Bisri Efendi, antropolog.

Bisri menambahkan, perlu dilakukan beberapa upaya bila globalisasi ini juga dihadapkan dengan berbagai komunitas. Orang Pulo harus mempunyai negosisasi dalam globalisasi kebudayaan, karena ini sangat penting. Jika kita tidak peduli, maka Orang Pulo menjadi orang lain, misalnya apa bedanya orang Pulau Panggang dengan orang Betawi pinggiran.

Dengan globalisasi yang masuk dan berkembang di Kepulauan Seribu, yang paling penting adalah sikap saling mengingatkan dan menyikapi globalisasi tersebut. Bila globalisasi dan modernisasi yang akan terus masuk dan tak bisa dikendalikan, tidak boleh disikapi oleh ketidakberdayaan, masyarakat Kepulauan Seribu –khususnya Pulau Panggang– harus mempertahankan identitas dan produk-produk lokal mereka. Tentunya hal ini butuh dukungan dari kita semua.

Sumber : selviagnesia 

 

Text Widget

Popular Posts

Recent Posts

Sample Text

Unordered List

Pulau Seribu