https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQn9uCiSPxPrt-b9JLyW9gAQV9WEhnhagNM3hKgD2OHtEsmKLYkA4rLTmwyqCYwtF3FN1D8kQLayJWhVEsoZTDIasLsS05yzkneIfg_EAuzzNHme9ttQf8pdKeCwe3oDk7JtlDIdPEgKD5/s640/Pulau+Perak.jpgAjakan trip ke sebuah pulau di ujung utara Kepulauan Seribu dari seorang teman sepertinya menarik. Apalagi belum begitu banyak catatan perjalanan ke pulau ini di internet, dan memang jarang orang yang mengenal Pulau ini sebagai tujuan wisata di Kepulauan Seribu.

“Ayolaah..mumpung belum banyak orang yang kesana, dan belum begitu terkenal seperti tidung dan pramuka, saya berbaik hati rela kesana untuk kedua kalinya demi kalian” kata-kata itulah yang dipakai teman saya ini untuk membujuk saya, apalagi ditambah dengan rincian budget dan kegiatan yang saya lihat sebelumnya yang telah dibuat teman saya, cukup menarik dan tidak terlalu mahal.

Sehari sebelum keberangkatan kami pun mempersiapkan peralatan yang akan dipakai untuk kemping: tenda, flysheet,nesting, kompor, selebihnya adalah peralatan-peralatan pribadi dan logistik untuk 2 hari 1 malam.

Pukul lima subuh kami sudah berkumpul di stasiun Universitas Indonesia menunggu kereta pertama yang akan berangkat pagi itu. Pagi itu cuaca sangat dingin setelah sebelumnya hujan turun pagi-pagi buta membuat saya sangat malas bangun dari tempat tidur dan berkemas menuju stasiun. Di stasiun sudah menunggu Adin, Mariesya, Anisa dan Yudha. Mereka adalah rombongan waktu pergi ke Pulau Sempu, kecuali saya yang benar-benar anggota baru. Lebih tepatnya lagi anggota lama yang kembali lagi, karena Adin dan Yudha teman jalan saya dulu.

Hari ini hari sabtu, dan kereta tidak begitu penuh. Tiba di stasiun kota kami langsung menuju pintu sebelah kanan dekat kawasan kota tua. Ada pilihan menuju pelabuhan muara angke dari sini, bisa menggunakan angkot tujuan muara angke yang banyak tersedia di sini atau menggunakan taxi. Dengan pertimbangan biaya yang tidak begitu beda jauh dan estimasi waktu, kami berlima memutuskan menggunakan taxi, pastikan si supir taxinya tahu letak pelabuhan muara angke. Tiba di pelabuhan muara angke jam tujuh pagi kurang, tepat waktu sebelum waktu keberangkatan kapal yang jam tujuh pagi. Di sini kami memilih perahu yang menuju Pulau Harapan, tanya saja perahunya pada orang-orang di sekitar pelabuhan, atau lihat di bagian depan perahunya tertulis nama pulau-pulau yang akan menjadi tujuan perjalanan. Hari itu tidak begitu banyak orang dengan tujuan wisata yang akan berpergian di muara angke ini. Di kapal kami mungkin hanya kami berlima yang seperti turis lokal sisanya penduduk lokal yang akan kembali ke rumahnya, kecuali kapal sebelah dengan tujuan Pulau Tidung yang masih ramai dengan turis lokal. Cuaca akhir-akhir ini yang buruk tampaknya berpengaruh juga dengan kunjungan wisatawan. Tapi Adin berkali-kali menjelaskan bahwa nelayan di muara angke ini tidak akan memaksakan diri tetap berangkat apabila cuaca sedang tidak memungkinkan, cukup menenangkan kami yang khawatir langit diluar masih terlihat mendung. Tepat pukul tujuh kapal pun berangkat, dan sepanjang perjalanan tidak ada yang dapat kami lakukan selain melanjutkan tidur.

Tiba di dermaga Pulau Harapan sudah banyak orang-orang yang menunggu kapal merapat, yang menarik saya lihat disini adalah ternyata ada juga kendaraan becak di pulau sekecil ini. Pulau harapan ini sudah ramai di isi oleh penduduk lokal juga terdapat sekolah-sekolah. Seperti Pulau Tidung, Pulau Harapan berbentuk memanjang dan tidak lebar. Lebarnya membuat kita bisa melihat garis pantai di sisi sebelah kanan dan kiri dari tempat kita berdiri, mungkin lebarnya sekitar 15-20 meter. Pulau Harapan dan Pulau Kelapa dihubungkan oleh sebuah jalan aspal. Menurut cerita masyarakat setempat dulunya Pulau Harapan dan Pulau Kelapa terpisah, tidak ada jalan yang menghubungkan kedua pulau ini. Pada jaman dahulu ada seorang guru yang tinggal di pulau kelapa. Sehari-hari ia pergi mengajar dengan berjalan kaki ke Pulau Harapan ketika air laut surut sehingga bisa dilalui, tapi tanpa diketahuinya anaknya yang masih kecil mengikutinya dari belakang. Ketika air laut pasang dan ia sudah sampai di Pulau Harapan, anaknya yang masih kecil tenggelam di laut. Dan akhirnya penduduk pun membuat sebuah jalan menghubungkan kedua pulau ini. Begitulah cerita yang saya dengar dari Adin ketika masih di perahu.


Tiba di Pulau Harapan kami pun langsung menuju rumah seorang nelayan kenalan kami di Pulau Kelapa. Kami diberitahu cuaca akhir-akhir ini memang sedang buruk, tapi hari ini tidak seburuk dua hari yang lalu. Jalan-jalan di dekat pelabuhan Pulau Kelapa sampai tergenang air laut, awalnya kami menganggap ini mungkin sudah biasa. Tapi kami baru tahu setelah pulangnya dari Adin yang telah dua kali ke pulau ini bahwa hari itu laut sangat pasang sampai-sampai air laut mencapai daratan. Dia memilih diam, dan tidak langsung memberitahu kepada kami agar kami tidak khawatir. Menjelang siang cuaca berangsur-angsur tenang dan kami pun berangkat mengelilingi pulau-pulau di sekitar untuk snorkeling. Kami mengunjungi tiga spot snorkeling, yang pertama di sekitar Pulau Bira kecil, lokasi yang tidak begitu bagus karena kami dibawa ke sekitar karang-karang mati dan banyak bulu babi. Saya pun langsung memutuskan untuk kembali naik ke perahu. Lokasi ke dua adalah di sekitar Pulau Kayu Angin Bira, yang ini lumayan bagus karena terumbu karangnya masih hidup dan ada banyak ikan-ikan di antara karangnya. Di lokasi ketiga yaitu sekitar Pulau Panjang sebenarnya cukup bagus, tapi saya tidak suka dengan masih banyaknya bulu babi. Tapi bulu babi adalah indikator alam yang menandakan bahwa lingkungannya belum tercemar, bukan begitu??



Pulau Perak
Puas snorkeling kami pun langsung menuju tempat tujuan kami, yaitu Pulau Perak untuk kemping. Setelah meminta izin terlebih dahulu kepada yang jaga pulau, kami pun mendirikan tenda di sisi pantai sebelah barat. Di Pulau Perak ini ternyata ada sumber mata air tawar, cukup aneh di pulau sekecil ini masih dapat ditemukan air tawar, kami pun bisa mandi dan membersihkan badan. Malam hari setelah makan malam, kami habiskan dengan bermain kartu dan bercerita. Permainan kartu menjadi tidak menarik bagi Adin karena Yudha selalu menang melulu, padahal yang membuat aturan permainan ini adalah Adin. Akhirnya kami pun meyudahi permainan kartu ini dan pindah ke dermaga. Dari dermaga Pulau Perak kami bisa jelas melihat bulan dan bintang malam itu, diseberang terlihat cahaya-cahaya lampu dari pulau lain. Saya baru sadar kalo ternyata bulan juga terbit dari arah sebelah timur, sama seperti matahari (maklum kalo di kota saya hanya melihat tahu-tahu bulan sudah ada di atas kepala tanpa memperhatikan muncul dari arah mana). Kami berlima tidur-tiduran di atas dermaga sambil terus bercerita. Bercerita apa saja, dari mulai munculnya bintang baru di ilmu astrologi, polusi cahaya-cahaya kota bagi migrasi burung-burung, sampai cerita tentang si penjaga pulau yang hanya ditemanin dengan seekor anjing. Malam itu sangat indah tidur di atas dermaga melihat bulan dan bintang sambil mendengarkan suara ombak, tapi sepertinya ada yang kurang perjalanan kali ini, ya.. badai..tidak ada badai. Rasanya seperti kurang seru, perjalanan tanpa badai tidak ada suka dan dukanya. . Puas bercerita atau karena kecapaian setelah sorenya snorkeling, satu persatu kami pun mulai tertidur. Entah berapa jam kami tertidur, sampai akhirnya saya terbangun karena tiba-tiba saja cuaca berubah, langit menjadi gelap. Saya bangunkan teman-teman yang lain untuk pindah ke dalam tenda, ternyata waktu masih menunjukkan pukul dua belas malam padahal kami merasa sudah tidur cukup lama sekali.

Ternyata tenda yang kami bawa tidak cukup untuk tidur berlima, akhirnya saya dan yudha mengalah untuk tidur di luar dan membiarkan cewe-cewe untuk tidur di dalam. Malam itu sangat gelap karena sudah tidak ada bulan, saya menutup kepala saya dengan fly sheet tenda mencoba untuk tidak melihat ke luar, dan yudha pun sepertinya tidak bisa tidur dengan nyenyak karena berulang kali katanya ia terbangun melihat sekeliling. Saya terbangun mendengar suara Annisa dari dalam tenda menyuruh kami masuk ke dalam tenda karena tampaknya akan turun hujan, saya dan yudha pun akhirnya masuk dan tidur bersempit-sempitan di dalam tenda. Belum lama kami mencoba mengatur posisi tidur kami di dalam tenda, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang. Celakanya kami lupa mengikat fly sheet tenda tadi sore. “Tinggal tunggu waktu aja nunggu flysheet ini terbang terbawa angin” pikir saya sambil tetap tidur. Teman saya berinisiatif memegang flysheet tenda dari dalam agar tidak terbang. Akhirnya saya terbangun karena terkejut flysheet yang menutup dinding sebelah saya terbuka karena angin yang kencang dan air hujan masuk.

“keluaaar.....keluaar.” kami langsung berlarian keluar menuju gubuk sebelah tempat penjaga pulau.

Tenda kami robohkan dan barang-barang kami pindahkan ke dalam gubuk. Penjaga pulau memberi kami tempat berteduh dari angin dan hujan malam itu. Kami cuma saling berpandangan di ruangan gelap dan kecil di dalam gubuk. Yudha memilih melanjutkan tidur di dipan luar gubuk. Di dalam gubuk cuma ada saya, Adin, Annisa, Mariesya dan penjaga pulau. Jujur saja saya tidak bisa tidur karena pikiran-pikiran seram saya sendiri tentang “penjaga pulau yang hidup sendirian dan anjing penjaganya” (efek kebanyakan nonton film horror). Selain itu saya pun tidak mudah percaya sama orang yang baru saya kenal apalagi di pulau kecil ini, setidaknya harus ada satu orang yang terjaga dan mengawasi sekeliling. Saya mencoba mengajak ngobrol si penjaga pulau untuk mengurangi rasa sepi dan bosan berdiam diri. Malam itu saya sempat merasakan kepala saya sakit sebelah, anehh..baru pertama kalinya saya merasakan sakit seperti ini. Rasanya seperti ada luka di kepala dan sakiiiit..., saya coba basuh kepala saya dengan air di botol dan memijat-mijat, tapi masih saja terasa sakit. Akhirnya rasa sakit itu saya tahan sambil saya bawa tidur mencoba memejamkan mata.


gubuk penjaga pulau











Pagi harinya cewe-cewe sudah bangun duluan dan membereskan barang, si penjaga pulau terlihat sedang memancing di dermaga. Pagi itu dia membakarkan kami seekor ikan untuk dijadikan lauk-pauk sarapan kami. Tak lama kemudian nelayan dari Pulau Kelapa yang tadi siang menemani kami keliling pulau datang menjemput, untuk kemudian mengantarkan kami ke Pulau Pramuka.

Dari pulau Pramuka kami menunggu kapal yang akan membawa kami ke pelabuhan Muara Angke. Kapal berangkat pukul satu siang, masih ada waktu dua jam sebelum kapal berangkat. Kami pun memutuskan untuk mencari makan. Sambil makan kami mengobrol dengan penduduk lokal yang mempunyai penginapan di pulau Pramuka. Dia bercerita tentang sepinya tamu di Pulau Pramuka bulan ini akibat pemberitaan di televisi yang menyebutkan tinggi gelombang di kepulauan Seribu yang katanya mencapai 2-3 meter.
“Itu semua bohong!”
“Kedalaman perairan di sekitar Kepulauan Seribu cuma sekitar ratusan meter,tidak sampai ribuan meter. Coba bayangkan kalo ada mangkuk yang tidak terlalu cekung di beri angin atau kita tiup tidak bakal membentuk gelombang besar kan?? Beda lagi jika mangkuk-nya mempunyai kecekungan yang dalam apabila kita tiup baru bisa membentuk gelombang tinggi. Lagi pula di sekitar kepulauan seribu anginnya tidak begitu sebesar di laut lepas. Angin di sini masih terhalang oleh pulau-pulau kecil di sekitarnya, belum pernah ada kapal yang terbalik. Kalo cuaca benar-benar buruk kita masih bisa bersandar ke pulau-pulau kecil di sekitarnya.” Kata orang itu menjelaskan dengan bersemangat. Ada benarnya juga teori orang ini. Permukaan yang tidak terlalu dalam tidak akan menimbulkan gelombang yang tinggi. Tapi mungkin ini cuma berlaku disekitar sini tidak di bagian utara yang menghadap langsung ke laut lepas. Tak lama kemudian kapal yang akan membawa kami menuju Muara Angke sudah datang, kami pun segera bergegas menuju kapal yang akan membawa kami kembali ke Pulau Jawa.


Sumber : wisbenbae


Text Widget

Popular Posts

Recent Posts

Sample Text

Unordered List

Pulau Seribu