Ajakan trip ke sebuah pulau di ujung
utara Kepulauan Seribu dari seorang teman sepertinya menarik. Apalagi
belum begitu banyak catatan perjalanan ke pulau ini di internet, dan
memang jarang orang yang mengenal Pulau ini sebagai tujuan wisata di
Kepulauan Seribu.
“Ayolaah..mumpung belum banyak
orang yang kesana, dan belum begitu terkenal seperti tidung dan pramuka,
saya berbaik hati rela kesana untuk kedua kalinya demi kalian”
kata-kata itulah yang dipakai teman saya ini untuk membujuk saya,
apalagi ditambah dengan rincian budget dan kegiatan yang saya lihat
sebelumnya yang telah dibuat teman saya, cukup menarik dan tidak terlalu
mahal.
Sehari sebelum keberangkatan
kami pun mempersiapkan peralatan yang akan dipakai untuk kemping: tenda,
flysheet,nesting, kompor, selebihnya adalah peralatan-peralatan pribadi
dan logistik untuk 2 hari 1 malam.
Pukul
lima subuh kami sudah berkumpul di stasiun Universitas Indonesia
menunggu kereta pertama yang akan berangkat pagi itu. Pagi itu cuaca
sangat dingin setelah sebelumnya hujan turun pagi-pagi buta membuat saya
sangat malas bangun dari tempat tidur dan berkemas menuju stasiun. Di
stasiun sudah menunggu Adin, Mariesya, Anisa dan Yudha. Mereka adalah
rombongan waktu pergi ke Pulau Sempu, kecuali saya yang benar-benar
anggota baru. Lebih tepatnya lagi anggota lama yang kembali lagi, karena
Adin dan Yudha teman jalan saya dulu.
Hari
ini hari sabtu, dan kereta tidak begitu penuh. Tiba di stasiun kota
kami langsung menuju pintu sebelah kanan dekat kawasan kota tua. Ada
pilihan menuju pelabuhan muara angke dari sini, bisa menggunakan angkot
tujuan muara angke yang banyak tersedia di sini atau menggunakan taxi.
Dengan pertimbangan biaya yang tidak begitu beda jauh dan estimasi
waktu, kami berlima memutuskan menggunakan taxi, pastikan si supir
taxinya tahu letak pelabuhan muara angke. Tiba di pelabuhan muara angke
jam tujuh pagi kurang, tepat waktu sebelum waktu keberangkatan kapal
yang jam tujuh pagi. Di sini kami memilih perahu yang menuju Pulau
Harapan, tanya saja perahunya pada orang-orang di sekitar pelabuhan,
atau lihat di bagian depan perahunya tertulis nama pulau-pulau yang akan
menjadi tujuan perjalanan. Hari itu tidak begitu banyak orang dengan
tujuan wisata yang akan berpergian di muara angke ini. Di kapal kami
mungkin hanya kami berlima yang seperti turis lokal sisanya penduduk
lokal yang akan kembali ke rumahnya, kecuali kapal sebelah dengan tujuan
Pulau Tidung yang masih ramai dengan turis lokal. Cuaca akhir-akhir ini
yang buruk tampaknya berpengaruh juga dengan kunjungan wisatawan. Tapi
Adin berkali-kali menjelaskan bahwa nelayan di muara angke ini tidak
akan memaksakan diri tetap berangkat apabila cuaca sedang tidak
memungkinkan, cukup menenangkan kami yang khawatir langit diluar masih
terlihat mendung. Tepat pukul tujuh kapal pun berangkat, dan sepanjang
perjalanan tidak ada yang dapat kami lakukan selain melanjutkan tidur.
Tiba di dermaga Pulau
Harapan sudah banyak orang-orang yang menunggu kapal merapat, yang
menarik saya lihat disini adalah ternyata ada juga kendaraan becak di
pulau sekecil ini. Pulau harapan ini sudah ramai di isi oleh penduduk
lokal juga terdapat sekolah-sekolah. Seperti Pulau Tidung, Pulau Harapan
berbentuk memanjang dan tidak lebar. Lebarnya membuat kita bisa melihat
garis pantai di sisi sebelah kanan dan kiri dari tempat kita berdiri,
mungkin lebarnya sekitar 15-20 meter. Pulau Harapan dan Pulau Kelapa
dihubungkan oleh sebuah jalan aspal. Menurut cerita masyarakat setempat
dulunya Pulau Harapan dan Pulau Kelapa terpisah, tidak ada jalan yang
menghubungkan kedua pulau ini. Pada jaman dahulu ada seorang guru yang
tinggal di pulau kelapa. Sehari-hari ia pergi mengajar dengan berjalan
kaki ke Pulau Harapan ketika air laut surut sehingga bisa dilalui, tapi
tanpa diketahuinya anaknya yang masih kecil mengikutinya dari belakang.
Ketika air laut pasang dan ia sudah sampai di Pulau Harapan, anaknya
yang masih kecil tenggelam di laut. Dan akhirnya penduduk pun membuat
sebuah jalan menghubungkan kedua pulau ini. Begitulah cerita yang saya
dengar dari Adin ketika masih di perahu.
Tiba di Pulau Harapan kami pun
langsung menuju rumah seorang nelayan kenalan kami di Pulau Kelapa. Kami
diberitahu cuaca akhir-akhir ini memang sedang buruk, tapi hari ini
tidak seburuk dua hari yang lalu. Jalan-jalan di dekat pelabuhan Pulau
Kelapa sampai tergenang air laut, awalnya kami menganggap ini mungkin
sudah biasa. Tapi kami baru tahu setelah pulangnya dari Adin yang telah
dua kali ke pulau ini bahwa hari itu laut sangat pasang sampai-sampai
air laut mencapai daratan. Dia memilih diam, dan tidak langsung
memberitahu kepada kami agar kami tidak khawatir. Menjelang siang cuaca
berangsur-angsur tenang dan kami pun berangkat mengelilingi pulau-pulau
di sekitar untuk snorkeling. Kami mengunjungi tiga spot snorkeling, yang
pertama di sekitar Pulau Bira kecil, lokasi yang tidak begitu bagus
karena kami dibawa ke sekitar karang-karang mati dan banyak bulu babi.
Saya pun langsung memutuskan untuk kembali naik ke perahu. Lokasi ke dua
adalah di sekitar Pulau Kayu Angin Bira, yang ini lumayan bagus karena
terumbu karangnya masih hidup dan ada banyak ikan-ikan di antara
karangnya. Di lokasi ketiga yaitu sekitar Pulau Panjang sebenarnya cukup
bagus, tapi saya tidak suka dengan masih banyaknya bulu babi. Tapi bulu
babi adalah indikator alam yang menandakan bahwa lingkungannya belum
tercemar, bukan begitu??
Pulau Perak
Puas
snorkeling kami pun langsung menuju tempat tujuan kami, yaitu Pulau
Perak untuk kemping. Setelah meminta izin terlebih dahulu kepada yang
jaga pulau, kami pun mendirikan tenda di sisi pantai sebelah barat. Di
Pulau Perak ini ternyata ada sumber mata air tawar, cukup aneh di pulau
sekecil ini masih dapat ditemukan air tawar, kami pun bisa mandi dan
membersihkan badan. Malam hari setelah makan malam, kami habiskan dengan
bermain kartu dan bercerita. Permainan kartu menjadi tidak menarik bagi
Adin karena Yudha selalu menang melulu, padahal yang membuat aturan
permainan ini adalah Adin. Akhirnya kami pun meyudahi permainan kartu
ini dan pindah ke dermaga. Dari dermaga Pulau Perak kami bisa jelas
melihat bulan dan bintang malam itu, diseberang terlihat cahaya-cahaya
lampu dari pulau lain. Saya baru sadar kalo ternyata bulan juga terbit
dari arah sebelah timur, sama seperti matahari (maklum kalo di kota saya
hanya melihat tahu-tahu bulan sudah ada di atas kepala tanpa
memperhatikan muncul dari arah mana). Kami berlima tidur-tiduran di atas
dermaga sambil terus bercerita. Bercerita apa saja, dari mulai
munculnya bintang baru di ilmu astrologi, polusi cahaya-cahaya kota bagi
migrasi burung-burung, sampai cerita tentang si penjaga pulau yang
hanya ditemanin dengan seekor anjing. Malam itu sangat indah tidur di
atas dermaga melihat bulan dan bintang sambil mendengarkan suara ombak,
tapi sepertinya ada yang kurang perjalanan kali ini, ya.. badai..tidak
ada badai. Rasanya seperti kurang seru, perjalanan tanpa badai tidak ada
suka dan dukanya. . Puas bercerita atau karena kecapaian setelah
sorenya snorkeling, satu persatu kami pun mulai tertidur. Entah berapa
jam kami tertidur, sampai akhirnya saya terbangun karena tiba-tiba saja
cuaca berubah, langit menjadi gelap. Saya bangunkan teman-teman yang
lain untuk pindah ke dalam tenda, ternyata waktu masih menunjukkan pukul
dua belas malam padahal kami merasa sudah tidur cukup lama sekali.
Ternyata tenda yang kami bawa
tidak cukup untuk tidur berlima, akhirnya saya dan yudha mengalah untuk
tidur di luar dan membiarkan cewe-cewe untuk tidur di dalam. Malam itu
sangat gelap karena sudah tidak ada bulan, saya menutup kepala saya
dengan fly sheet tenda mencoba untuk tidak melihat ke luar, dan yudha
pun sepertinya tidak bisa tidur dengan nyenyak karena berulang kali
katanya ia terbangun melihat sekeliling. Saya terbangun mendengar suara
Annisa dari dalam tenda menyuruh kami masuk ke dalam tenda karena
tampaknya akan turun hujan, saya dan yudha pun akhirnya masuk dan tidur
bersempit-sempitan di dalam tenda. Belum lama kami mencoba mengatur
posisi tidur kami di dalam tenda, tiba-tiba angin bertiup sangat
kencang. Celakanya kami lupa mengikat fly sheet tenda tadi sore.
“Tinggal tunggu waktu aja nunggu flysheet ini terbang terbawa angin”
pikir saya sambil tetap tidur. Teman saya berinisiatif memegang flysheet
tenda dari dalam agar tidak terbang. Akhirnya saya terbangun karena
terkejut flysheet yang menutup dinding sebelah saya terbuka karena angin
yang kencang dan air hujan masuk.
“keluaaar.....keluaar.” kami langsung berlarian keluar menuju gubuk sebelah tempat penjaga pulau.
Tenda kami robohkan dan
barang-barang kami pindahkan ke dalam gubuk. Penjaga pulau memberi kami
tempat berteduh dari angin dan hujan malam itu. Kami cuma saling
berpandangan di ruangan gelap dan kecil di dalam gubuk. Yudha memilih
melanjutkan tidur di dipan luar gubuk. Di dalam gubuk cuma ada saya,
Adin, Annisa, Mariesya dan penjaga pulau. Jujur saja saya tidak bisa
tidur karena pikiran-pikiran seram saya sendiri tentang “penjaga pulau
yang hidup sendirian dan anjing penjaganya” (efek kebanyakan nonton film
horror). Selain itu saya pun tidak mudah percaya sama orang yang baru
saya kenal apalagi di pulau kecil ini, setidaknya harus ada satu orang
yang terjaga dan mengawasi sekeliling. Saya mencoba mengajak ngobrol si
penjaga pulau untuk mengurangi rasa sepi dan bosan berdiam diri. Malam
itu saya sempat merasakan kepala saya sakit sebelah, anehh..baru pertama
kalinya saya merasakan sakit seperti ini. Rasanya seperti ada luka di
kepala dan sakiiiit..., saya coba basuh kepala saya dengan air di botol
dan memijat-mijat, tapi masih saja terasa sakit. Akhirnya rasa sakit itu
saya tahan sambil saya bawa tidur mencoba memejamkan mata.
gubuk penjaga pulau |
Pagi
harinya cewe-cewe sudah bangun duluan dan membereskan barang, si
penjaga pulau terlihat sedang memancing di dermaga. Pagi itu dia
membakarkan kami seekor ikan untuk dijadikan lauk-pauk sarapan kami. Tak
lama kemudian nelayan dari Pulau Kelapa yang tadi siang menemani kami
keliling pulau datang menjemput, untuk kemudian mengantarkan kami ke
Pulau Pramuka.
Dari pulau Pramuka kami menunggu
kapal yang akan membawa kami ke pelabuhan Muara Angke. Kapal berangkat
pukul satu siang, masih ada waktu dua jam sebelum kapal berangkat. Kami
pun memutuskan untuk mencari makan. Sambil makan kami mengobrol dengan
penduduk lokal yang mempunyai penginapan di pulau Pramuka. Dia bercerita
tentang sepinya tamu di Pulau Pramuka bulan ini akibat pemberitaan di
televisi yang menyebutkan tinggi gelombang di kepulauan Seribu yang
katanya mencapai 2-3 meter.
“Itu semua bohong!”
“Kedalaman
perairan di sekitar Kepulauan Seribu cuma sekitar ratusan meter,tidak
sampai ribuan meter. Coba bayangkan kalo ada mangkuk yang tidak terlalu
cekung di beri angin atau kita tiup tidak bakal membentuk gelombang
besar kan?? Beda lagi jika mangkuk-nya mempunyai kecekungan yang dalam
apabila kita tiup baru bisa membentuk gelombang tinggi. Lagi pula di
sekitar kepulauan seribu anginnya tidak begitu sebesar di laut lepas.
Angin di sini masih terhalang oleh pulau-pulau kecil di sekitarnya,
belum pernah ada kapal yang terbalik. Kalo cuaca benar-benar buruk kita
masih bisa bersandar ke pulau-pulau kecil di sekitarnya.” Kata orang itu
menjelaskan dengan bersemangat. Ada benarnya juga teori orang ini.
Permukaan yang tidak terlalu dalam tidak akan menimbulkan gelombang yang
tinggi. Tapi mungkin ini cuma berlaku disekitar sini tidak di bagian
utara yang menghadap langsung ke laut lepas. Tak lama kemudian kapal
yang akan membawa kami menuju Muara Angke sudah datang, kami pun segera
bergegas menuju kapal yang akan membawa kami kembali ke Pulau Jawa.