KINI, nelayan di Kecamatan Utara dan Kecamatan Selatan, Kepulauan Seribu, tidak lagi menggunakan racun potassium dan bom ikan untuk mencari ikan di laut. Mereka sudah sadar tentang bagaimana mendapatkan ikan dengan cara tetap ramah pada lingkungan.
“Sekarang ini kami sudah sadar setelah banyak menerima binaan dari dinas perikanan dan LSM,” kata Pak Halimun, nelayan yang tinggal di RT 3/2, Kelurahan Pulau Panggang.
Ketika ketemu Pak Halimun, dia banyak bercerita kepada saya. Pemahaman nelayan tentang bahaya racun potassium dan bom ikan dewasa ini sudah lebih maju dibandingkan sebelum 1997. Mereka tahu kalau sering-sering memakai racun di laut, akibatnya yang punah bukan hanya bibit ikan, melainkan juga terumbu karang dan khusunya merugikan para nelayan pancing.
Kerugian yang diakibatkan oleh penggunaan racun, bukan hanya sesaat saja. Tapi akan berlangsung sangat lama, mengingat bibit-bibit ikan pun ikut habis. Itu sebabnya, mereka telah berkomitmen untuk ikut melestarikan alam.
Nah, alternatif yang ditempuh nelayan agar proses pencarian ikan bisa ramah lingkungan dan mereka bisa tetap bisa memenuhi penghidupan, yakni menggunakan alat-alat berupa jaring atau jala, pancing, dan tumbak.
Sejak nelayan memakai peralatan yang ramah terhadap lingkungan, mereka tidak lagi kehabisan ikan untuk memenuhi permintaan pembeli di Jakarta.
Kecamatan Utara dan Kecamatan Selatan terdiri dari enam kelurahan. Yakni, Kelurahan Untung Jawa, Kelurahan Pari, dan Kelurahan Kidung (Kecamatan Selatan). Serta Kelurahan Panggang, Kelurahan Kelapa, dan Kelurahan Harapan (Kecamatan Utara). Kota kabupaten dari dua kecamatan ini terletak di Pulau Pramuka.
Penduduk di sana, rata-rata bermata pencaharian sebagai pemancing ikan, penjaring gurame, keramba, budidaya ikan hias, dan karang hias.
Belum lama ini, Liliek Litasari Kepala Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kepulauan Seribu mengatakan indikasi dari berkurangnya pemakaian potasium dan bom ikan adalah dengan munculnya beberapa jenis ikan yang sebelumnya nyaris punah.
Dijelaskannya, dari sepuluh jenis ikan yang nyaris punah, setahun belakangan sudah ada beberapa jenis yang muncul seperti, Ikan Office, Sonang Rambut, Keletuk Peliding, dan Gepe Monyong.
Nasib Nelayan Pulau Seribu, Kini
Berbagai persoalan kini tengah membelit sebagian besar warga Kepulauan Seribu. Terutama yang menetap di Kecamatan Selatan dan Kecamatan Utara yang terdiri dari enam kelurahan. Masalah yang dihadapi, di antaranya ialah tidak lancarnya usaha mereka dalam memenuhi penghidupan yang layak.
Mereka harus mati-matian untuk mengadakan fasilitas agar mata pencaharian seperti memancing ikan, menjaring gurame, keramba, budidaya ikan hias, dan karang hias tetap berjalan. Terkadang karena tidak mampu menyediakan sarana dan prasarana, mereka terpaksa harus berhenti bekerja untuk sementara. Belum lagi kalau cuaca memburuk.
Seperti yang dialami Pak Halimun itu. Nelayan pancing betul-betul menghadapi masalah besar. Yaitu kesulitan membeli harga bahan bakar solar yang kini mencapai Rp 7 ribu per liter.
Akhirnya mereka harus mengakali masalah ini. Salah satu caranya dengan menghutang solar dulu kepada penjual bahan bakar. Nanti hutang ini akan dibayar setelah hasil dari mencari ikan di laut berhasil dijual.
Tapi, persoalan tidak berhenti sampai di situ. Mereka sering sulit membayar hutang karena ternyata hasil laut tidak sesuai dengan jumlah pengeluaran. Kalau sudah begitu, biasanya mereka akan mencicil hutang kepada penjual solar.
Selain masalah bahan bakar, nelayan jaring juga harus berhadapan dengan nelayan modern dari Jakarta yang sering datang di waktu malam hari. Peralatan nelayan dari Jakarta jauh lebih lengkap, misalnya lampu-lampu besar untuk menarik perhatian ikan di laut.
Sementara nelayan tradisional atau yang sering disebut nelayan mayang yang hanya memiliki fasilitas minim, terpaksa harus gigit jari. Dan penghasilan mereka menjadi berkurang banyak. Padahal sebelum banyak nelayan modern, pendapatan mereka masih terbilang lumayan.
Sebenarnya, masalah ini sudah agak teratasi setelah ada semacam aturan bersama bahwa nelayan modern dilarang masuk ke area nelayan tradisional.
Apabila nelayan Jakarta terlalu dekat dengan daratan pulau (maksimal lima mil), maka nelayan tradisional akan mengingatkan mereka. Hanya saja bukan berarti masalah nelayan tradisional selesai, mereka tetap sulit karena masalah fasilitas yang sangat kurang itu.
Menurut Halimun, sebenarnya nelayan tradisional pada 2008 dulu pernah mendapat subsidi dari pemerintah untuk pengadaan peralatan. Namun entah kenapa, pada 2009 bantuan itu dihentikan. Padahal, bagi nelayan tradisional subsidi berupa alat-alat melaut sangat dibutuhkan.
Kemudian budidaya ikan hias. Nelayan juga sering kesulitan memasarkan ikan dengan harga pas. Sebab, sebagian pembeli ikan di Jakarta seenaknya menentukan harga. Kalau sudah begini, biasanya mereka terjepit dan tidak punya pilihan, ikan harus dijual agar mereka tetap hidup, sedangkan harga ditentukan oleh bos ikan hias di Jakarta.
Itulah sebabnya warga di Kecamatan Selatan dan Kecamatan Utara meminta perhatian serius dari pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Mereka minta agar pemerintah juga mau bekerjasama, misalnya dalam hal pemasaran atau subsidi alat nelayan.
Nelayan agak kecewa dengan pemerintah karena mereka selama ini telah mengikut imbauan pemerintah, misalnya untuk budidaya menangkap ikan tidak boleh lagi menggunakan potassium. Semua harus dilakukan dengan ramah lingkungan.
Nah, semua itu sudah dilaksanakan nelayan. Kini, nelayan hanya minta agar pemerintah pun mendengar dan ikut terlibat secara konsisten dan serius terhadap masalah mereka.