Pagi itu kami terbangun dan masih merasakan sensasi petualangan di Pulau
Pari. Sedari Subuh, aku sudah bersiap untuk menyambut matahari terbit
di Bukit Matahari. Konon disebut Bukit Matahari karena dari lokasi
tersebut kita bisa melihat dengan jelas fajar menyingsing dari balik
perairan. Yang tadinya aku pikir akan menemui bukit yang menanjak,
ternyata aku salah. Bukit Matahari memang memiliki permukaan yang lebih
tinggi namun tidak menyerupai bukit. Kami berjalan menyusuri tanah
berbatu untuk bisa tiba di ujung. Sayangnya pagi itu kami kurang
beruntung. Matahari yang seharusnya terlihat jelas, malah sedikit
tertutup awan. Sambil menyambut pagi, kami pun ternyata bisa menceburkan
diri ke pinggir laut dan berpijak di bebatuan. Tinggi air hanya semata
kaki. Sedikit lagi aku berjalan, maka aku akan benar-benar berada di
tengah laut.
Saat langit mulai terang, kami kembali ke rumah dan bersiap-siap untuk
pulang siang nanti. Tapi ternyata petualangan belum berakhir! Kami
diajak ke sisi lain Pulau Pari, Pantai Pasir Perawan. Untuk menuju
kesana kami harus menggunakan sepeda. Yah, aku kembali dibonceng
temanku. Di tengah perjalanan kami sempat berhenti sejenak, dan ternyata
masing-masing dari kami diberikan satu pot tunas bakau oleh sang
pemandu. Wah! Sepertinya akan ada acara bertanam nih! Aku menjadi tidak
sabar. Kami pun segera menyimpan bakau di keranjang sepeda dan
melanjutkan perjalanan.
Rute sepeda yang berat dan berbatu membuat kami sangat lelah. Tapi
kelelahan itu terbayar dengan pemandangan yang kami dapat sesampainya
kami di Pantai Pasir Perawan. Luas dan bersih! Baik air maupun pasir
pantainya terlihat sangat terjaga dan seperti belum pernah terjamah
tangan-tangan manusia.
Sejenak kami lupa dengan bakau yang kami bawa. Ah! Ternyata bakau kami
nyaris hancur karena pasir di dalam pot sudah tumpah saat perjalanan.
Kami pun segera memperbaiki tunas bakau kami dengan menambahkan beberapa
genggam pasir. Sebelum ditanam ternyata bakau tersebut harus diberi
nama si penanam dengan cara mengikatkan plastik yang sudah dimasukkan
kertas bertuliskan nama orang yang menanam. Wah, mungkin agar suatu saat
nanti saat aku kembali ke sana, aku bisa menemukan bakau dewasa
milikku.
Kami diajak berjalan menjauhi pantai, sekitar 1 meter dari bibir pantai
dimana kedalaman air setengah betis orang dewasa. Disanalah kami
beramai-ramai menanam tunas bakau. Menggali pasir di dasar laut
menggunakan tangan, meletakkan tunas bakau di dalam lubang galian, dan
menutupnya kembali dengan pasir. Butuh waktu agak lama untuk menanam
satu bakan saja, karena menggali pasir adalah bagian yang tersulit
menurutku. Tapi setelah itu kami puas dengan hasilnya. Aku berdoa semoga
bakau-ku bisa tumbuh dan tidak malah hanyut terbawa ombak.
Menghabiskan waktu menjelang siang di Pantai Pasir Perawan adalah hal
yang tepat. Bersantai, berfoto, sambil menikmati es kelapa, menjadi
penutup yang manis liburan singkat kami di Pulau Pari. Kami sangat
menikmati detik-detik yang tersisa. Dari perjalanan ini aku menyadari,
bahwa dibalik pulau kecil yang sederhana, ada banyak keindahan yang
tersimpan rapi yang wajib untuk dijaga agar bisa terus kita nikmati.
Sumber : kompasiana.com